Senin, 11 Agustus 2014

Because of Air Asia, I find my lost love


Tepat saat itu, waktu sudah mulai semakin mendekati hari-H. Hari dimana saya harus mengikuti presentasi karya ilmiah di kota terbesar ke-2 di Indonesia. Kota yang hingga kini menjadi kota yang memiliki memori manis bagiku dan baginya, tentu. Masih terlintas di benakku, saat itu tanggal 15 Desember 2011. Tim ku bersama pembimbingku dengan segera membeli tiket untuk pergi ke Surabaya.

Aku pun langsung segera memesan tiket karena bingung dengan biaya tiket yang pastinya mahal sebab kebetulan saat itu high season, ku-booking tiket travel. Tiba-tiba temanku menghubungiku karena ternyata ada tiket murah saat itu. Aku hanya berharap bahwa ia segera mem-booking-nya dan bisa segera men-cancel tiket travel yang kupesan. Kupikir, kalau ada yang lebih murah, kenapa tidak?

Kusiapkan seluruh barang-barang yang akan dibawa. Laptop, seragam SMA. Tak lupa ku kabari seseorang yang selama ini menjadi penyemangatku hingga akhirnya aku menulis karya ilmiah dan berharap setelah lolos bisa bertemu dengannya. Hanya sesederhana itu. Setelah hubungan LDR sejak Nopember 2011 kami jalani selama 2 minggu berujung putus olehnya karena ia menganggap kami tak pernah bertemu dan untuk apa melanjutkan hubungan tanpa pertemuan. Aku tentu sangat terpukul karena begitu menyukai dirinya. Dan..
Semenjak putus, aku hanya berharap bisa bertemu dengannya. Kami lost contact. Hanya aku saja yang terus berusaha untuk menghubunginya. Aku begitu menunggu balasannya tapi tak kunjung datang. Hingga aku memutuskan mengikuti lomba tersebut

Tepat tanggal 15 Desember 2011, kami berangkat. Awalnya aku kaget, karena kupikir kami akan ke Terminal Ubung, Denpasar, untuk menaiki bus. Tetapi ternyata, guru pembimbing kami mengajak suaminya untuk menjemput kami di sekolah dan berujung ke Bandara Ngurah Rai Bali. Bandara? Tiket murah? Bagaimana bisa? Akhirnya saya bertanya-tanya dan dia hanya menjawab bahwa kami akan naik Pesawat Air Asia. Saya bertanya "bukankah tiket pesawat sangat mahal? Yang saya tau, travel justru lebih murah dibanding pesawat. Memang kelemahan menggunakan travel adalah sangat melelahkan, terguncang-guncang karena jalan darat tak bersahabat, belum lagi muntah saat perjalanan. Tapi saya sudah terbiasa menggunakannya, apa ibu yakin ada pesawat yang melebihi murahnya travel?". Tiba-tiba Ibu Guru Pembimbing kami menyodorkan tiket pesawat yang ia pesan secara online dan saya hanya terdiam. "apakah ini mimpi? Bisa menaiki pesawat?". Maklum, saya hanya seorang siswa biasa yang belum pernah menaiki pesawat. Hanya bisa membeli tiket murah berupa travel atau bus.

Guru Pembimbing kami pun turun dari mobil, sedangkan suainya menunggu di dalam mobil. Kami akan memohon restu kepada Kepala Sekolah agar kami bisa memberikan presentasi terbaik karena membawa nama sekolah kami. Dan Kepala Sekolah kami berkata bahwa jika kami bisa membawa piala juara I/II/III, uang transportasi pesawat kami akan diganti pulang pergi. Dan, kami boleh pulang pergi menggunakan pesawat. Mendengar hal itu, saya sangat bersemangat sekali. Kami pun berangkat ke Bandara Ngurah Rai dan berpamitan kepada suami dari Guru Pembimbing ku. Kami berdoa sesuai ajaran masing-masing, kami saling berpegangan tangan saat berada di waiting room. "Apakah ini mimpi?". Berkali-kali aku katakan hal itu hingga aku akhirnya benar-benar merasakan bagaimana naik pesawat itu. Saat pertama kali masuk, jantungku berdegub kencang. Sangat takut ketinggian. Ya, aku phobia ketinggian. Bahkan aku terus memegang tangan rekanku, Diah Indrasuari. Rekan ku lainnya bernama Ayu yang duduk bersama Ibu Guru Pembimbingku. Pramugari mulai mengintruksikan cara pemasangan side belt. Sambil memegangi tangan temanku, aku memasang side belt tersebut. Tanganku mulai dingin, tetapi berkeringat. Aku mulai merasakan pesawat mulai lepas landas. Aku hanya berdoa terus dalam hati. Berkeringat dingin. terus berdoa dalam hati, berharap takkan terjadi kecelakaan pesawat seperti pemberitaan di televisi. Akhirnya, pesawat mengudara dan kami berada di atas. Aku merasakan pesawat ulai menabrak awan dan ku pikir itu adalah sebuah masalah besar. Aku mulai merogoh buku saku doa yang aku bawa untuk orang yang mengendarai pesawat. Aku ketakutan. Sangat takut. Temanku tertawa melihat tingkahku yang mulai tidak karuan. Aku hanya bisa menahan jengkel melihat dia yang menertawakanku. Selama di pesawat, aku memegang erat lengan temanku (bukan lagi memegang telapak tangan), karena sangat ketakutan. Puji Tuhan, akhirnya kami sampai dengan selamat. Dan saat landing, kami tetap berpegangan lengan dan mengucap syukur. Akhirnya kami sampai di Bandara Djuanda Surabaya. Ya, kota tempat pria ku yang begitu aku cinta, kini berada.

Kami memutuskan untuk menginap kos harian daerah Jalan Dharmawangsa Surabaya, dekat Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Setiap hari kami berlatih presentasi hingga menjelang hari presentasi karena sulitnya materi yang akan kami bawa dan bukan level siswa SMA. Kami tidur kurang dari 3 jam hampir setiap hari. Di sela-sela waktu istirahat sejenak, ku sempatkan mengirmkan SMS kepada pria ku itu, yang masih sangat aku cinta. Gio. 
Dia memori terindahku. Dia penyeimbang dan penyemangatku. Aku begitu mengaguminya.
Singkat cerita, dia masih begitu dingin padaku. Tiba pula akhirnya, tanggal 17. Presentasi dimulai. Keringat dingin mengucur. Dan aku mulai melangkahkan kaki ku dan terus berusaha mengatur napas. Dihadapkan pada 3 orang juri yang semuanya adalah dokter handal pada bidang yang berhubungan dengan judul Karya Ilmiahku di ruang sidang FK Universitas Airlangga. Bahkan saat sesi tanya jawab, juri memintaku untuk menunjukkan data yang saat itu tidak ada di laptop dan ada di flashdisk di tas tempatku duduk sebelum aku maju presentasi. Dengan langkah getar, aku mulai melangkah, tangan ku dingin dan berkeringat. Aku mulai panik karena tidak menemukan flashdisk itu. Dan puji Tuhan bisa ku temukan. Aku kembali melangkah ke tempat presentasiku di depan. Semua mata memandang tajam padaku. Akhirnya, semua bisa kami selesaikan.


 






 
Dan saat pengumuan tanggal 18 Desember, aku sempatkan sms pria ku, meski bukan milikku.
Entah mengapa, saat itu ia mau bertemu denganku. Pria ku. Dan akhirnya bertemu di depan Perpustakaan FK Universitas Airlangga. Bercanda bersama. Indah sekali
Pria yang dulu memutuskan cinta itu. Pria yang mengabaikanku dan tak pernah menganggap setiap sms dan teleponku. pria itu. Gio. Dialah yang hingga kini menjadi Pacarku.
Berkat Air Asia, aku bisa menemukan Pria ku yang hilang. Yang dulu tak acuh dan peduli, kini telah bersama ku dan masih bersama ku. Terhitung hampir 3 tahun kami berpacaran. Dan sungguh bahagia memilikinya. 
Kami pulang dengan bahagia membawa piala Juara II LKTI FK Universitas Airlangga tersebut yang  kami kirim khusus melalui paket ke Bali. Dan.. pulang dengan bahagia sambil meragkul lengan Diah di Pesawat Air Asia..
  



Home

Senin, 11 Agustus 2014

Because of Air Asia, I find my lost love


Tepat saat itu, waktu sudah mulai semakin mendekati hari-H. Hari dimana saya harus mengikuti presentasi karya ilmiah di kota terbesar ke-2 di Indonesia. Kota yang hingga kini menjadi kota yang memiliki memori manis bagiku dan baginya, tentu. Masih terlintas di benakku, saat itu tanggal 15 Desember 2011. Tim ku bersama pembimbingku dengan segera membeli tiket untuk pergi ke Surabaya.

Aku pun langsung segera memesan tiket karena bingung dengan biaya tiket yang pastinya mahal sebab kebetulan saat itu high season, ku-booking tiket travel. Tiba-tiba temanku menghubungiku karena ternyata ada tiket murah saat itu. Aku hanya berharap bahwa ia segera mem-booking-nya dan bisa segera men-cancel tiket travel yang kupesan. Kupikir, kalau ada yang lebih murah, kenapa tidak?

Kusiapkan seluruh barang-barang yang akan dibawa. Laptop, seragam SMA. Tak lupa ku kabari seseorang yang selama ini menjadi penyemangatku hingga akhirnya aku menulis karya ilmiah dan berharap setelah lolos bisa bertemu dengannya. Hanya sesederhana itu. Setelah hubungan LDR sejak Nopember 2011 kami jalani selama 2 minggu berujung putus olehnya karena ia menganggap kami tak pernah bertemu dan untuk apa melanjutkan hubungan tanpa pertemuan. Aku tentu sangat terpukul karena begitu menyukai dirinya. Dan..
Semenjak putus, aku hanya berharap bisa bertemu dengannya. Kami lost contact. Hanya aku saja yang terus berusaha untuk menghubunginya. Aku begitu menunggu balasannya tapi tak kunjung datang. Hingga aku memutuskan mengikuti lomba tersebut

Tepat tanggal 15 Desember 2011, kami berangkat. Awalnya aku kaget, karena kupikir kami akan ke Terminal Ubung, Denpasar, untuk menaiki bus. Tetapi ternyata, guru pembimbing kami mengajak suaminya untuk menjemput kami di sekolah dan berujung ke Bandara Ngurah Rai Bali. Bandara? Tiket murah? Bagaimana bisa? Akhirnya saya bertanya-tanya dan dia hanya menjawab bahwa kami akan naik Pesawat Air Asia. Saya bertanya "bukankah tiket pesawat sangat mahal? Yang saya tau, travel justru lebih murah dibanding pesawat. Memang kelemahan menggunakan travel adalah sangat melelahkan, terguncang-guncang karena jalan darat tak bersahabat, belum lagi muntah saat perjalanan. Tapi saya sudah terbiasa menggunakannya, apa ibu yakin ada pesawat yang melebihi murahnya travel?". Tiba-tiba Ibu Guru Pembimbing kami menyodorkan tiket pesawat yang ia pesan secara online dan saya hanya terdiam. "apakah ini mimpi? Bisa menaiki pesawat?". Maklum, saya hanya seorang siswa biasa yang belum pernah menaiki pesawat. Hanya bisa membeli tiket murah berupa travel atau bus.

Guru Pembimbing kami pun turun dari mobil, sedangkan suainya menunggu di dalam mobil. Kami akan memohon restu kepada Kepala Sekolah agar kami bisa memberikan presentasi terbaik karena membawa nama sekolah kami. Dan Kepala Sekolah kami berkata bahwa jika kami bisa membawa piala juara I/II/III, uang transportasi pesawat kami akan diganti pulang pergi. Dan, kami boleh pulang pergi menggunakan pesawat. Mendengar hal itu, saya sangat bersemangat sekali. Kami pun berangkat ke Bandara Ngurah Rai dan berpamitan kepada suami dari Guru Pembimbing ku. Kami berdoa sesuai ajaran masing-masing, kami saling berpegangan tangan saat berada di waiting room. "Apakah ini mimpi?". Berkali-kali aku katakan hal itu hingga aku akhirnya benar-benar merasakan bagaimana naik pesawat itu. Saat pertama kali masuk, jantungku berdegub kencang. Sangat takut ketinggian. Ya, aku phobia ketinggian. Bahkan aku terus memegang tangan rekanku, Diah Indrasuari. Rekan ku lainnya bernama Ayu yang duduk bersama Ibu Guru Pembimbingku. Pramugari mulai mengintruksikan cara pemasangan side belt. Sambil memegangi tangan temanku, aku memasang side belt tersebut. Tanganku mulai dingin, tetapi berkeringat. Aku mulai merasakan pesawat mulai lepas landas. Aku hanya berdoa terus dalam hati. Berkeringat dingin. terus berdoa dalam hati, berharap takkan terjadi kecelakaan pesawat seperti pemberitaan di televisi. Akhirnya, pesawat mengudara dan kami berada di atas. Aku merasakan pesawat ulai menabrak awan dan ku pikir itu adalah sebuah masalah besar. Aku mulai merogoh buku saku doa yang aku bawa untuk orang yang mengendarai pesawat. Aku ketakutan. Sangat takut. Temanku tertawa melihat tingkahku yang mulai tidak karuan. Aku hanya bisa menahan jengkel melihat dia yang menertawakanku. Selama di pesawat, aku memegang erat lengan temanku (bukan lagi memegang telapak tangan), karena sangat ketakutan. Puji Tuhan, akhirnya kami sampai dengan selamat. Dan saat landing, kami tetap berpegangan lengan dan mengucap syukur. Akhirnya kami sampai di Bandara Djuanda Surabaya. Ya, kota tempat pria ku yang begitu aku cinta, kini berada.

Kami memutuskan untuk menginap kos harian daerah Jalan Dharmawangsa Surabaya, dekat Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Setiap hari kami berlatih presentasi hingga menjelang hari presentasi karena sulitnya materi yang akan kami bawa dan bukan level siswa SMA. Kami tidur kurang dari 3 jam hampir setiap hari. Di sela-sela waktu istirahat sejenak, ku sempatkan mengirmkan SMS kepada pria ku itu, yang masih sangat aku cinta. Gio. 
Dia memori terindahku. Dia penyeimbang dan penyemangatku. Aku begitu mengaguminya.
Singkat cerita, dia masih begitu dingin padaku. Tiba pula akhirnya, tanggal 17. Presentasi dimulai. Keringat dingin mengucur. Dan aku mulai melangkahkan kaki ku dan terus berusaha mengatur napas. Dihadapkan pada 3 orang juri yang semuanya adalah dokter handal pada bidang yang berhubungan dengan judul Karya Ilmiahku di ruang sidang FK Universitas Airlangga. Bahkan saat sesi tanya jawab, juri memintaku untuk menunjukkan data yang saat itu tidak ada di laptop dan ada di flashdisk di tas tempatku duduk sebelum aku maju presentasi. Dengan langkah getar, aku mulai melangkah, tangan ku dingin dan berkeringat. Aku mulai panik karena tidak menemukan flashdisk itu. Dan puji Tuhan bisa ku temukan. Aku kembali melangkah ke tempat presentasiku di depan. Semua mata memandang tajam padaku. Akhirnya, semua bisa kami selesaikan.


 






 
Dan saat pengumuan tanggal 18 Desember, aku sempatkan sms pria ku, meski bukan milikku.
Entah mengapa, saat itu ia mau bertemu denganku. Pria ku. Dan akhirnya bertemu di depan Perpustakaan FK Universitas Airlangga. Bercanda bersama. Indah sekali
Pria yang dulu memutuskan cinta itu. Pria yang mengabaikanku dan tak pernah menganggap setiap sms dan teleponku. pria itu. Gio. Dialah yang hingga kini menjadi Pacarku.
Berkat Air Asia, aku bisa menemukan Pria ku yang hilang. Yang dulu tak acuh dan peduli, kini telah bersama ku dan masih bersama ku. Terhitung hampir 3 tahun kami berpacaran. Dan sungguh bahagia memilikinya. 
Kami pulang dengan bahagia membawa piala Juara II LKTI FK Universitas Airlangga tersebut yang  kami kirim khusus melalui paket ke Bali. Dan.. pulang dengan bahagia sambil meragkul lengan Diah di Pesawat Air Asia..