Di era globalisasi yang semakin maju dan deras ini,
manusia terus dituntut untuk berkembang mengikuti zaman. Salah satu sifat
manusia adalah selalu menginginkan sesuatu hal yang lebih baik lagi dari apa
yang sekarang didapat, karena tidak ada rasa puas dalam diri manusia ketika apa
yang diinginkannya telah tercapai maka akan terus dan terus menginginkan
sesuatu hal yang baru, yang lebih dari apa yang sudah di dapat. Hal tersebut
mendorong inovasi baru dari manusia untuk terus membuat alat-alat canggih yang
dapat membantu hidup dan mempermudah kegiatan manusia. Pembuatan alat-alat
canggih tersebut di samping mempermudah manusia dalam melakukan kegiatannya,
juga dapat memberi banyak dampak negatif. Salah satu contoh adalah asap pabrik
dan kendaraan yang mencemari udara. Gambaran tercemarnya kualitas udara di
sejumlah ruas jalan di Denpasar ini ditunjukkan dari hasil uji emisi tahun 2008
lalu. Dari 1.645 kendaraan r
oda empat yang diuji emisinya, ternyata 930 unit
kendaraan roda empat atau 56,53 % dari total sampel yang diuji, emisi gas
buangnya berada di atas ambang batas baku mutu atau tidak lulus uji (http://www.balipost.co.id, tt ).
Udara adalah unsur terpenting, bersama unsur-unsur
lain, dalam kehidupan manusia. Udara merupakan campuran mekanis dari
bermacam-macam gas. Komposisi udara normal terdiri atas gas nitrogen 78,1 %,
oksigen 20,93 %, dan karbondioksida 0,03%, sementara selebihnya berupa gas
argon, neon, kripton, xenon dan helium. Udara juga mengandung uap air, debu,
bakteri, spora dan sisa tumbuh-tumbuhan. (Chandra, 2006). Apabila udara yang
merupakan unsur terpenting dalam hidup manusia menjadi tercemar, maka banyak
masalah yang akan timbul setelah manusia menghirup udara tersebut terus
menerus. Berbagai penyakit pernafasan menjangkit manusia dan bahkan dapat
berdampak kematian, misal penyakit TBC. Indonesia berada di urutan ketiga
terbanyak di dunia dalam jumlah penderita TBC, dengan hampir 600.000 kasus TBC
baru setiap tahunnya. Selain itu, polutan yang dihasilkan oleh pabrik maupun
kendaraan bermotor tersebut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti
hujan asam. (http://dinkes-sulsel.go.id,
tt).
Hujan asam diartikan sebagai segala macam hujan dengan pH di bawah 5,6. Hujan yang normal,
yaitu hujan yang tidak tercemar, mempunyai pH sekitar 5,6. Hal ini disebabkan
gas CO2 didalam air hujan. Asam karbonat itu bersifat asam yang
tercemar oleh asam yang kuat, menyebabkan pH air hujan turun dibawah 5,6. Hujan
inilah yang merupakan hujan asam (http://sendhysaputro90.wordpress.com, 2009).
Banyak dampak negatif yang disebabkan oleh hujan asam, seperti perkaratan pada
mobil, rusaknya patung-patung yang terkena hujan asam tersebut.
Dewasa ini, lahan penanaman tumbuhan di perumahan
pada daerah perkotaan cenderung sedikit. Hal tersebut disebabkan oleh sempitnya
luas lahan bangunan, sehingga bangunan rumah dibuat cenderung rapat dengan
pagar. Kondisi tersebut membuat rumah yang dibangun tidak memungkinkan untuk
memiliki kebun kecil sebagai media penanaman tanaman rumah. Tanaman rumah
penting sebagai penyuplai oksigen (O2) tambahan dan penyerap CO2
yang berbahaya bagi apabila kadarnya berlebihan di atmosfer.
Green
wall
merupakan suatu metode penanaman yang menggunakan dinding sebagai media
penanaman. Green wall dibagi menjadi
dua, yaitu living wall dan green screen. Green screen merupakan lapisan vegetatif yang berakar di tanah dan
merambat di dinding. Banyak contoh green
screen yang telah diaplikasikan dan dengan bermacam-macam jenis tanaman,
seperti tanaman sirih-sirihan yang tumbuh merambat pada media tanamnya. Berbeda
dengan green screen, living wall menggunakan tanaman yang
bukan merambat, sehingga tidak hanya tanaman merambat saja yang dapat ditanam,
tetapi tanaman yang bukan merambat juga dapat ditanam di lahan vertikal.
Metode living wall dapat menjadi solusi dalam
masalah polusi udara yang berbahaya bagi kehidupan. Sebab, penanaman melalui
metode living wall tidak memerlukan
lahan yang luas, tetapi memanfaatkan dinding sebagai media tanam. Dengan
demikian living wall dapat menjadi
solusi dalam usaha mempersempit penggunaan lahan secara horizontal. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
mengkaji lebih lanjut mengenai konsep living
wall dan tanaman apa saja yang tepat untuk ditanam pada media living wall.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini, yaitu:
1.
Bagaimanakah konsep living wall?
2.
Tanaman apakah yang dapat dimanfaatkan
dalam konsep living wall?
3.
Bagaimanakah proses penyerapan CO2
melalui konsep living wall oleh
tumbuhan?
1.3 Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah, maka tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui konsep living wall.
2.
Untuk mengetahui macam-macam tanaman
yang dapat ditanam pada media living wall.
3.
Untuk mengetahui proses penyerapan
CO2 melalui konsep living wall
oleh tumbuhan
1.4
Manfaat
Penulisan
Hasil
penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Dapat
menjadi alternatif taman rumah bagi rumah yang berlahan sempit.
2. Dapat
membuat udara di rumah terasa lebih bersih, karena tanaman pada living wall menyerap polutan udara
berupa CO2 dan menghasilkan udara baru yang bersih (kaya O2).
3. Pemerintah
dapat menjadikan alternatif penghijau kota, karena menggunakan dinding sebagai
media tanam.
4. Sebagai
alternatif penghijau kota berlahan sempit, sehingga udara di kota menjadi lebih
bersih walaupun dengan kondisi lahan yang sempit.
5. Membantu
pemerintah dalam mengatasi masalah polusi udara, terutama polusi karena gas CO2.
1.5
Ruang
Lingkup
Adapun
ruang lingkup dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah kajian mengenai living wall yang berpotensi sebagai media tanam dengan lahan vertikal yang bertujuan
untuk menyerap CO2,
mengenai jenis-jenis tanaman yang tepat ditanam pada living wall, dan proses penyerapan CO2
melalui konsep living wall oleh
tumbuhan.
Pembahasan
Konsep Living
Wall
Living wall merupakan salah satu
arsitektur penanaman yang dilakukan secara vertikal di fasad bangunan (sisi
luar bangunan). Pembuatan living wall
dilakukan secara bertahap dengan berbahan dasar bingkai tanah liat, tanah,
tanaman tertentu dan kerangka kayu atau besi. Pada langkah awal, bingkai tanah
liat digunakan sebagai wadah untuk menempatkan tanah. Bingkai berukuran lebar
50,8 cm dan tinggi 76,2 cm sesuai dengan ukuran sel kotak pada kerangka kayu
atau besi. Bingkai yang terbuat dari tanah liat ini dapat menyerap air karena
butiran-butiran tanah liat bersifat halus dan berongga. Bingkai yang mampu
menyerap air dapat menjaga kelembaban tanah. Kelembaban tanah berperan penting
dalam menjaga aktivitas fauna tanah seperti pada cacing tanah. Cacing tanah
mengandung air sekitar 75-90% dari berat tubuhnya namun cacing tanah juga
melepaskan air ke dalam tanah dan seresah sisa pencernaannya. Sehingga
kandungan oksigen di dalam tanah meningkat dan fauna serta mikroorganisme
penyubur tanah lain dapat tetap berkembang. Tanah yang dipergunakan pada living wall merupakan tanah khusus yang
memiliki karakteristik ringan dan subur dengan mengutamakan kandungan kompos
lebih banyak dari unsur tanahnya. Living
wall mempergunakan tanah khusus ini bertujuan mengurangi beban tanah dan
dapat melekat saat bingkai ditegakkan secara vertikal. Tanah yang ringan dan
mengandung kompos dicampurkan dengan sedikit air agar butiran-butiran tanah
menempel dan melekat. Tanah menempel dan saling melekat ini ditujukan agar
kseimbangan berat tanah terjaga dan tidak jatuh saat pemasangan secara
vertikal.
Tanaman
yang dimanfaatkan dalam pembuatan living
wall berkriteria tanaman yang berukuran sesuai dengan bingkainya karena
akar tanaman dapat menjalar dan mengikat sel tanah. Secara mekanik, akar
tanaman menunjangkan dan memegang batang pada posisi tegak membawa permukaan
daun yang luas. Akar tanaman tumbuh dan memanjang sehingga memperluas jangkauan
akar tersebut. Perpanjangan akar tersebut menjadikan permukaan akar lebih
mendekati posisi tempat unsur hara berada, baik unsur hara yang berada dalam
larutan tanah, permukaan koloid liat dan permukaan koloid organik (mekanisme
intersepsi akar). Hal ini menyebabkan tanah pada bingkai dapat di tahan atau terikat
oleh akar. Jarak tanaman diatur agar tidak terlalu tebal dan menutupi rapat
fasad. Untuk menghasilkan ketebalan ideal dibutuhkan waktu enam bulan sejak
masa tanam jika dari tanaman stek yang panjangnya 50 cm. Tanaman yang telah
tumbuh dan akarnya telah mengikat sebagian tanah pada bingkai, dipasang pada
kerangka kayu atau besi. Kerangka kayu atau besi dipergunakan sebagai tempat
menopangnya bingkai-bingkai tanaman hingga tersusun sebuah living wall.
Pembuatan
living wall dilakukan secara bertahap
dengan mulanya tanaman dikembangbiakkan dalam bingkai. Tanaman dikembangbiakkan
kurang lebih selama 4 bulan hingga akar tanaman tumbuh mejalar dan mengikat
tanah pada bingkai. Pengikatan tanah oleh akar dapat menjaga tanah dan tidak
mudah jatuh. Bingkai tanaman dapat dibuat lebih dari satu dan dipasang pada
kerangka kayu atau besi. Kerangka kayu atau besi semula dibuat berlubang kotak
dan tiap sel kotak berukuran lebar 50,8 cm dan tinggi 76,2 cm. Tahap selanjutnya bingkai tanaman
dikembangbiakkan secara vertikal. Adapun sistem irigasi pada living wall menggunakan jenis irigasi sprinkle (penyemprotan) atau overhead irrigation yaitu pemberian air
dilakukan dari bagian atas tanaman terpancar menyerupai curah hujan. Adapun
komponen penyusun sistem irigasi sprinkle
yaitu sebagai berikut:
1.
Sumber air irigasi dapat berasal dari
mata air, sumber air yang permanen (sungai, danau, dan lain-lain), sumur, atau
suatu sistem suplai regional.
2.
Sumber irigasi dapat dioperasikan dengan
menggunakan sumber energi yang berasal dari gravitasi, pemompaan pada sumber
air, atau penguatan tekanan dengan menggunakan pompa penguat tekanan (booster pump).
3.
Jaringan
pipa yaitu lateral (pipa tempat
diletakkannya sprinkle), manifold (pipa-pipa penghubung lateral),
valve line (pipa tempat diletakkannya
katup air), mainline (pipa yang
dihubungkan dengan valve line) dan supply line (pipa yang menyalurkan air
dari sumber air).
Living
wall merupakan
salah satu alternatif penghijauan kota yang diterapkan pada media vertikal dari
lahan terbatas. Penghijauan perkotaan dapat memulihkan, memelihara dan
meningkatkan perlindungan terhadap lingkungan. Tanaman-tanaman yang
dimanfaatkan pada living wall dengan
bantuan cahaya matahari akan mengalami proses fotosintesis dan menghasilkan zat
asam yaitu oksigen (O2) yang baik untuk pernafasan makhluk hidup.
Selain itu, keberadaan living wall
juga dapat mereduksi udara dengan memanfaatkan tanaman yang mampu menyerap
karbon dioksida (CO2) dan menghasilkan oksigen (CO2). Hal tersebut membuat suhu udara menjadi
turun. Berdasarkan penelitian Yamada (2008) menjelaskan bahwa living wall dapat menurunkan suhu hingga
sebesar 10oC dan dapat digambarkan melalui grafik dibawah ini.
Berdasarkan
pada grafik di atas bahwa terdapat 3 faktor kondisi pada suhu yaitu (1) Hanging planters green wall
(penggantungan penanaman green wall),
(2) Green wall panels
(dinding-dinding green wall), (3) Exposed concrete wall (dinding khusus
yang terbuka) yang berpatokan terhadap outside
temperature (suhu luar). Pada kondisi hanging
planters green wall, suhu masih lebih tinggi dibandingkan suhu luar normal.
Pada kondisi green wall panels, suhu
mengalami penurunan dari suhu di antara 30,0oC-32,0oC
sampai pada suhu diantara 26,0oC-28,0oC dari keadaan suhu
luar normal. Pada kondisi exposed
concrete wall berada pada suhu mencapai lebih 36,0oC.
Berdasarkan data tersebut, suhu pada kondisi Exposed concrete wall yang
mencapai 36oC mengalami penurunan sebesar 10oC saat
kondisi green wall panels. Living wall
yang merupakan bagian dari green wall
dapat menghasilkan oksigen (O2) dan menyerap karbon dioksida (CO2)
sehingga suhu mengalami penurunan.
4.2 Jenis-Jenis Tanaman yang
Digunakan dalam Living Wall
Tanaman
yang dimanfaatkan dalam pembuatan living wall merupakan tanaman yang memiliki
ciri-ciri berukuran sesuai dengan bingkai tanah liat yang berukuran panjang
50,8 cm dan tinggi 76,2 cm. Tinggi tanaman dapat disesuaikan dengan lebar
bingkai tanah liat. Penyesuaian tinggi
tanaman dengan lebar bingkai bertujuan agar akar dapat menahan topangan bagian
batang. Akar yang menjalar dan berkembang di dalam tanah akan mengikat tanah
dan membuat tanaman tidak mudah jatuh apabila bingkai diletakkan dengan posisi
vertikal. Adapun jarak tanaman pada fasad rapat sehingga tanah dapat diikat
oleh akar dan tanaman tidak terlepas. Namun, tanaman yang berbatang besar dan
bercabang banyak tidak dapat dipergunakan pada living wall karena kesulitan tanaman untuk tumbuh dan tegak pada
posisi vertikal. Tanaman yang dapat digunakan pada living wall merupakan
tanaman yang memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida (CO2)
dengan baik. Tanaman yang memiliki kemampuan CO2 dengan baik akan
dapat menurunkan suhu dan menggantikannya dengan O2 sehingga udara
dapat bersih dan sehat bagi makhluk hidup.
Berdasarkan
hal tersebut, maka tanaman yang dapat dimanfaatkan pada living wall ialah sebagai berikut.
1. Tanaman
Puring
·
Klasifikasi: Kingdom:
plantae (tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Superdivisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub Kelas: Rosidae
Ordo: Euphorbiales
Famili:
Euphorbiaceae
Genus: Codiaeum
Spesies: Codiaeum
variegatum
Puring
merupakan tanaman asli Indonesia. Bentuk
daun puring sangat bervariasi, ada yang berbentuk bulat telur (ovatus), lonjong
(oblongus), jorong (ellipticus), ada juga yang berbentuk pita( linear),
masing-masing daun mempunyai corak warna yang berbeda. Sosok batang puring ada
2 macam yaitu bulat dan bersudut, pertumbuhan batang tegak menjulang ke atas
dengan percabangan banyak. Daun puring mengandung senyawa saponin, flavanoida,
dan polifenol. Tanaman puring merupakan tanaman hias pekarangan populer
berbentuk perdu dengan bentuk dan warna daun yang bervariasi. Tanaman ini
selain bermanfaat sebagai tanaman hias di pekarangan, juga berfungsi sebagai
penyedia oksigen dengan volume 0,00097877 m3 di udara. Selain itu,
tanaman puring dapat menyerap CO2 di udara dengan kemampuan
serapannya yaitu 13,14080947 gr/sekon. Pada saat terjadinya proses
fotosintesis, CO2 yang diserap oleh tanaman puring akan bereaksi
dengan H2O dan menghasilkan glukosa (C6H12O6)
dan O2. Adapun efisiensi CO2
menjadai O2 pada tanaman puring sebesar 22,06%. Sehingga dengan
pemanfaatan tanaman ini maka dapat mengurangi kapasitas CO2 di
udara.
2.
Tanaman Ngokilo
·
Klasifikasi: Kingdom: Plantae (tumbuhan)
Subkingdom:
Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi:
Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi:
Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas:
Magnoliopsida (berkeping dua/ dikotil)
Sub Kelas:
Asteridae
Ordo:
Scrophulariales
Famili:
Acanthaceae
Genus:
Strobilanthes
Spesies: Stachytarpheta mutabilis, Vahl.
Tanaman
ngokilo adalah suatu jenis tumbuhan yang berbatang basah dan menyerupai rumput
berbatang tegak. Batang tanaman ini berdiameter antara 0,2-0,7 cm dan memiliki
kulit luar berwarna ungu dengan bintik-bintik hijau atau coklat saat tua.
Tanaman ini dapat dimanfaatkan pada living wall karena ukuran tanamannya yang
tidak besar dan kemampuannya menyerap CO2. Tanaman ngokilo memiliki
kemampuan menyerap CO2 sebesar 0,04128339 gr/sekon. Pada proses
fotosintesis, tanaman ngokilo menyerap CO2 dan menghasilkan O2
dengan efisiensi CO2 menjadi O2 sekitar 0,826%. Tanaman
ini bermanfaat dalam penyediaan O2 di udara.
3. Lidah
Mertua
·
Klasifikasi: Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas: Liliidae
Ordo: Liliales
Famili: Agavaceae
Genus: Sansevieria
Spesies: Sansevieria
trifasciata
Lidah
mertua merupakan salah satu tanaman hias yang memiliki ciri-ciri warna daun
yang beragam, seperti warna hijau tua, hijau muda, hijau abu-abu, perak dan
kombinasi putih kuning atau kuning. Tanaman ini memiliki motif alur atau
garis-garis yang terdapat pada helai daun yang beragam, seperti alur mengikuti
arah serat daun, tidak beraturan, dan zig-zag. Daun tanaman ini tumbuh langsung
dari rimpang akar di dalam tanah yang berukuran panjang 15-150 cm dan lebar 4-9
cm. Lidah Mertua menyerap polutan seperti karbon CO2 yang telah
diserap stomata akan memasuki sistem metabolism dalam tubuh. CO2
kemudian dikirim ke akar, pada bagian akar, mikroba melakukan proses
detoksifikasi. Melalui proses ini, mikroba akan menghasilkan suatu zat yang
diperlukan oleh lidah mertua. Dalam proses pernapasan tersebut dihasilkan gas
yang bermanfaat bagi manusia yaitu berupa O2. Proses ini berlangsung
terus menerus selama lidah mertua masih hidup.
4. Tanaman
Krisan
·
Klasifikasi: Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Super
Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi:
Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas:
Magnoliophyta (berkeping dua/dikotil)
Sub
Kelas: Asteridae
Ordo:
Asterales
Famili:
Asteraceae
Genus:
Chrysanthemum
Spesies:
Chrysanthemum x grandiflorum
Bunga
krisan merupakan salah satu tanaman hias yang mempunyai prospek yang baik untuk
dibudidayakan. Pada umumnya, tanaman ini ditanam pada lahan dengan ketinggian
antara 700-1200 di atas permukaan laut. Dalam pengembangbiakkan tanaman ini
berada pada suhu 17oC-30oC. tanaman krisan mulai berbunga
pada umur 10-14 minggu setelah ditanam dan sesuai dengan varietasnya. Selain
tanaman ini berfungsi sebagai tanaman hias, tanaman ini juga dapat menyerap CO2
dan menghasilkan O2 di udara.
4.3 Proses Penyerapan CO2 Melalui
Konsep Living Wall
Proses
penyerapan CO2 dilakukan oleh tumbuhan hijau yang tumbuh pada media living wall. Penyerapan CO2
dilakukan oleh tumbuhan dan digunakan untuk proses fotosintesis. Pada proses
fotosintesis tumbuhan hijau mengambil CO2 dan mengeluarkan C6H12O6
serta peranan O2 yang sangat dibutuhkan makhluk hidup. Oleh karena
itu, peranan tumbuhan hijau sangat diperlukan untuk menjaring CO2
dan melepas O2 kembali ke udara. Di samping itu berbagai proses
metabolisme tumbuhan hijau dapat memberikan berbagai fungsi untuk kebutuhan
makhluk hidup yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan.
Persamaan
reaksi fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan dapat dituliskan sebagai
berikut:
CO2 [g] + 6H2O
[g] ---->
C6H12O6 + 6O2 [g]
Gas
CO2 ini adalah suatu polutan yang juga merupakan salah satu gas
rumah kaca yang berpengaruh terhadap pemanasan global. Gas CO2
merupakan gas buangan yang banyak dihasilkan dari proses pembakaran yang
terjadi di seluruh permukaan bumi, seperti pembakaran sampah, gas buang hasil
penggunaan mesin pabrik, asap kendaraan yang biasa kita hirup, dan lain-lain.
Proses penyerapan CO2 ini merupakan proses yang melibatkan suatu
reaksi. Pada dasarnya, rangkaian reaksi fotosintesis dapat dibagi menjadi dua
bagian utama: reaksi terang (karena memerlukan cahaya) dan reaksi
gelap (tidak memerlukan cahaya tetapi memerlukan karbon dioksida).
4.3.1 Reaksi terang
Reaksi
terang adalah proses untuk menghasilkan ATP dan reduksi
NADPH2. Reaksi ini memerlukan
molekul air.
Proses diawali dengan penangkapan foton oleh pigmen sebagai antena.
Pigmen
klorofil menyerap lebih banyak cahaya terlihat pada warna biru (400-450 nanometer) dan merah
(650-700 nanometer) dibandingkan hijau (500-600 nanometer). Cahaya hijau ini
akan dipantulkan dan ditangkap oleh mata kita sehingga menimbulkan sensasi
bahwa daun berwarna hijau. Fotosintesis akan menghasilkan lebih banyak energi
pada gelombang cahaya dengan panjang tertentu. Hal ini karena panjang gelombang
yang pendek menyimpan lebih banyak energi.
Di
dalam daun, cahaya akan diserap oleh molekul klorofil untuk dikumpulkan pada
pusat-pusat reaksi. Tumbuhan memiliki dua jenis pigmen yang berfungsi aktif
sebagai pusat reaksi atau fotosistem yaitu fotosistem II dan fotosistem I.
Fotosistem II terdiri dari molekul klorofil yang menyerap cahaya dengan panjang
gelombang 680 nanometer, sedangkan fotosistem I 700 nanometer. Kedua fotosistem
ini akan bekerja secara simultan dalam fotosintesis, seperti dua baterai dalam
senter yang bekerja saling memperkuat.
Fotosintesis
dimulai ketika cahaya mengionisasi molekul klorofil pada fotosistem II,
membuatnya melepaskan elektron yang akan ditransfer sepanjang rantai transpor
elektron. Energi dari elektron ini digunakan untuk fotofosforilasi yang
menghasilkan ATP,
satuan pertukaran energi dalam sel. Reaksi ini menyebabkan fotosistem II
mengalami defisit atau kekurangan elektron yang harus segera diganti. Pada
tumbuhan dan alga, kekurangan elektron ini dipenuhi oleh elektron dari hasil
ionisasi air yang terjadi bersamaan dengan ionisasi klorofil. Hasil ionisasi
air ini adalah elektron dan oksigen.
Oksigen
dari proses fotosintesis hanya dihasilkan dari air, bukan dari karbon dioksida.
Pendapat ini pertama kali diungkapkan oleh C.B. van Neil yang mempelajari
bakteri fotosintetik pada tahun 1930-an. Bakteri fotosintetik, selain sianobakteri,
menggunakan tidak menghasilkan oksigen karena menggunakan ionisasi sulfida atau
hidrogen.
Pada
saat yang sama dengan ionisasi fotosistem II, cahaya juga mengionisasi
fotosistem I, melepaskan elektron yang ditransfer sepanjang rantai transpor
elektron yang akhirnya mereduksi NADP menjadi NADPH. Tahap pertama dari sistem fotosintesis
adalah reaksi terang, yang sangat bergantung kepada ketersediaan sinar
matahari. Reaksi terang merupakan penggerak bagi reaksi pengikatan CO2
dari udara. Reaksi ini melibatkan beberapa kompleks protein dari membran
tilakoid yang terdiri dari sistem cahaya (fotosistem I dan II), sistem pembawa
elektron, dan komplek protein pembentuk ATP (enzim ATP sintase). Reaksi
terang mengubah energi cahaya menjadi energi kimia, juga menghasilkan oksigen
dan mengubah ADP dan NADP+ menjadi energi pembawa ATP dan NADPH.
Reaksi
terang terjadi di tilakoid, yaitu struktur cakram yang terbentuk dari
pelipatan membran dalam kloroplas. Membran tilakoid menangkap energi cahaya dan
mengubahnya menjadi energi kimia. Jika ada bertumpuk-tumpuk tilakoid, maka
disebut grana.
Secara
ringkas, reaksi terang pada fotosintesis ini terbagi menjadi dua, yaitu fosforilasi
siklik dan fosforilasi
nonsiklik. Fosforilasi adalah reaksi penambahan gugus fosfat kepada
senyawa organik untuk membentuk senyawa fosfat organik. Pada reaksi terang,
karena dibantu oleh cahaya, fosforilasi ini disebut juga fotofosforilasi.
Reaksi fotofosforilasi siklik adalah reaksi yang hanya melibatkan
satu fotosistem, yaitu fotosistem I. Dalam fotofosforilasi siklik, pergerakan
elektron dimulai dari fotosistem I dan berakhir di fotosistem I. Pertama,
energi cahaya, yang dihasilkan oleh matahari, membuat elektron-elektron di P700
tereksitasi (menjadi aktif karena rangsangan dari luar), dan keluar menuju
akseptor elektron primer kemudian menuju rantai transpor elektron. Karena P700
mentransfer elektronnya ke akseptor elektron, P700 mengalami defisiensi
elektron dan tidak dapat melaksanakan fungsinya. Selama perpindahan elektron
dari akseptor satu ke akseptor lain, selalu terjadi transformasi hidrogen
bersama-sama elektron. Rantai transpor ini menghasilkan gaya penggerak proton,
yang memompa ion H+ melewati membran, yang kemudian menghasilkan
gradien konsentrasi yang dapat digunakan untuk menggerakkan sintase ATP selama
kemiosmosis, yang kemudian menghasilkan ATP. Dari rantai
transpor, elektron kembali ke fotosistem I. Dengan kembalinya elektron ke
fotosistem I, maka fotosistem I dapat kembali melaksanakan fungsinya.
Fotofosforilasi siklik terjadi pada beberapa bakteri, dan juga terjadi pada
semua organisme fotoautotrof.
Reaksi
fotofosforilasi nonsiklik adalah reaksi dua tahap yang melibatkan dua
fotosistem klorofil yang berbeda, yaitu fotosistem I dan II. Dalam
fotofosforilasi nonsiklik, pergerakan elektron dimulai di fotosistem II, tetapi
elektron tidak kembali lagi ke fotosistem II. Mula-mula, molekul air diurai
menjadi 2H+ + 1/2O2 + 2e-. Dua elektron dari
molekul air tersimpan di fotosistem II, sementara ion H+ akan digunakan pada
reaksi yang lain dan O2 akan dilepaskan ke udara bebas. Karena
tersinari oleh cahaya matahari, dua elektron yang ada di P680 menjadi
tereksitasi dan keluar menuju akseptor elektron primer. Setelah terjadi
transfer elektron, P680 menjadi defisiensi elektron, tetapi dapat cepat
dipulihkan berkat elektron dari hasil penguraian air tadi. Setelah itu mereka
bergerak lagi ke rantai transpor elektron, yang membawa mereka melewati
pheophytin, plastoquinon, komplek sitokrom b6f, plastosianin, dan akhirnya
sampai di fotosistem I, tepatnya di P700. Perjalanan elektron diatas disebut
juga dengan “skema Z”. Sepanjang perjalanan di rantai transpor, dua elektron
tersebut mengeluarkan energi untuk reaksi sintesis kemiosmotik ATP, yang
kemudian menghasilkan ATP.
Sesampainya di fotosistem I, dua elektron tersebut mendapat
pasokan tenaga yang cukup besar dari cahaya matahari. Kemudian elektron itu
bergerak ke molekul akseptor, feredoksin, dan akhirnya sampai di ujung rantai
transpor, dimana dua elektron tersebut telah ditunggu oleh NADP+ dan
H+, yang berasal dari penguraian air. Dengan bantuan suatu enzim
bernama Feredoksin-NADP reduktase, disingkat FNR, NADP+, H+,
dan elektron tersebut menjalani suatu reaksi:
NADP+ + H+
+ 2e- —> NADPH
NADPH,
sebagai hasil reaksi diatas, akan digunakan dalam reaksi Calvin-Benson, atau reaksi gelap.
4.3.2 Reaksi gelap
Reaksi gelap merupakan reaksi lanjutan dari reaksi terang
dalam fotosintesishttps://www.facebook.com/balitbangpu.
Reaksi ini tidak membutuhkan cahaya. Reaksi gelap terjadi pada bagian kloroplas
yang disebut stroma. Bahan reaksi gelap adalah ATP dan NADPH,
yang dihasilkan dari reaksi terang, dan CO2, yang berasal dari udara
bebas. Dari reaksi gelap ini, dihasilkan glukosa (C6H12O6),
yang sangat diperlukan bagi reaksi katabolisme. Reaksi ini ditemukan oleh Melvin
Calvin dan Andrew Benson, karena itu reaksi gelap
disebut juga reaksi Calvin-Benson.
Salah satu substansi penting dalam proses ini ialah senyawa
gula beratom karbon lima yang terfosforilasi yaitu ribulosa fosfat.
Jika diberikan gugus fosfat kedua dari ATP maka dihasilkan ribulosa
difosfat (RDP). Ribulosa difosfat ini yang nantinya akan mengikat CO2
dalam reaksi gelap. Secara umum, reaksi gelap dapat dibagi menjadi tiga tahapan
(fase), yaitu fiksasi, reduksi, dan regenerasi.
Pada fase fiksasi, 6 molekul ribulosa difosfat mengikat 6
molekul CO2 dari udara dan membentuk 6 molekul beratom C6 yang tidak
stabil yang kemudian pecah menjadi 12 molekul beratom C3 yang dikenal dengan 3-asam
fosfogliserat (APG/PGA). Selanjutnya, 3-asam fosfogliserat ini
mendapat tambahan 12 gugus fosfat, dan membentuk 1,3-bifosfogliserat.
Kemudian, 1,3-bifosfogliserat masuk ke dalam fase reduksi, dimana senyawa ini
direduksi oleh H+ dari NADPH, yang kemudian berubah menjadi NADP+,
dan terbentuklah 12 molekul fosfogliseraldehid (PGAL) yang
beratom 3C. Selanjutnya, 2 molekul fosfogliseraldehid melepaskan diri dan
menyatukan diri menjadi 1 molekul glukosa yang beratom 6C (C6H12O6).
10 molekul fosfogliseraldehid yang tersisa kemudian masuk ke dalam fase
regenerasi, yaitu pembentukan kembali ribulosa difosfat. Pada fase ini, 10
molekul fosfogliseraldehid berubah menjadi 6 molekul ribulosa fosfat.
Jika mendapat tambahan gugus fosfat, maka ribulosa fosfat akan berubah menjadi ribulosa
difosfat (RDP), yang kemudian kembali mengikat CO2 dan
menjalani siklus reaksi gelap.
Reaksi terang dan reaksi gelap di atas berhubungan dengan
produksi O2 di udara. Gas CO2 diperlukan untuk
memproduksi glukosa dan O2. Sehingga, semakin banyak suatu tempat
ditumbuhi tanaman, maka semakin tinggi produksi O2 pada lingkungan
tersebut. Melalui konsep living wall,
diharapkan dapat menampung tumbuhan dalam jumlah banyak dan mampu memproduksi O2
dalam jumlah tinggi pula, sehingga dengan semakin rendah kadar CO2
dalam udara dan semakin tinggi produksi O2 oleh tumbuhan, dapat
mewujudkan Denpasar yang hijau dan sehat. Hijau, karena asri dan rindang, serta
sehat, karena dengan rendahnya konsentrasi CO2 dan tingginya
konsentrasi O2 dalam udara, dapat mengurangi jumlah risiko
masyarakat terjangkit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Konsep living wall dapat membantu pemerintah
mengurangi jumlah penderita ISPA dan membantu menghijaukan lingkungan kota
Denpasar, di tengah masalah sempitnya lahan rumah masyarakat perkotaan, yang
kurang memungkinkan untuk membuat sebuah taman horizontal. Karena konsep living wall menggunakan media berupa
tanah vertikal, sehingga tidak memerlukan lahan horizontal yang luas untuk
menanam tanaman-tanaman tertentu.
0 komentar:
Posting Komentar