Minggu, 17 November 2013

Konsep Living Wall sebagai Penyerap CO2 dalam Upaya Menuju Denpasar Hijau dan Sehat



Di era globalisasi yang semakin maju dan deras ini, manusia terus dituntut untuk berkembang mengikuti zaman. Salah satu sifat manusia adalah selalu menginginkan sesuatu hal yang lebih baik lagi dari apa yang sekarang didapat, karena tidak ada rasa puas dalam diri manusia ketika apa yang diinginkannya telah tercapai maka akan terus dan terus menginginkan sesuatu hal yang baru, yang lebih dari apa yang sudah di dapat. Hal tersebut mendorong inovasi baru dari manusia untuk terus membuat alat-alat canggih yang dapat membantu hidup dan mempermudah kegiatan manusia. Pembuatan alat-alat canggih tersebut di samping mempermudah manusia dalam melakukan kegiatannya, juga dapat memberi banyak dampak negatif. Salah satu contoh adalah asap pabrik dan kendaraan yang mencemari udara. Gambaran tercemarnya kualitas udara di sejumlah ruas jalan di Denpasar ini ditunjukkan dari hasil uji emisi tahun 2008 lalu. Dari 1.645 kendaraan r
oda empat yang diuji emisinya, ternyata 930 unit kendaraan roda empat atau 56,53 % dari total sampel yang diuji, emisi gas buangnya berada di atas ambang batas baku mutu atau tidak lulus uji (http://www.balipost.co.id, tt ).
Udara adalah unsur terpenting, bersama unsur-unsur lain, dalam kehidupan manusia. Udara merupakan campuran mekanis dari bermacam-macam gas. Komposisi udara normal terdiri atas gas nitrogen 78,1 %, oksigen 20,93 %, dan karbondioksida 0,03%, sementara selebihnya berupa gas argon, neon, kripton, xenon dan helium. Udara juga mengandung uap air, debu, bakteri, spora dan sisa tumbuh-tumbuhan. (Chandra, 2006). Apabila udara yang merupakan unsur terpenting dalam hidup manusia menjadi tercemar, maka banyak masalah yang akan timbul setelah manusia menghirup udara tersebut terus menerus. Berbagai penyakit pernafasan menjangkit manusia dan bahkan dapat berdampak kematian, misal penyakit TBC. Indonesia berada di urutan ketiga terbanyak di dunia dalam jumlah penderita TBC, dengan hampir 600.000 kasus TBC baru setiap tahunnya. Selain itu, polutan yang dihasilkan oleh pabrik maupun kendaraan bermotor tersebut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti hujan asam. (http://dinkes-sulsel.go.id, tt).
Hujan asam diartikan sebagai segala macam hujan dengan pH di bawah 5,6. Hujan yang normal, yaitu hujan yang tidak tercemar, mempunyai pH sekitar 5,6. Hal ini disebabkan gas CO2 didalam air hujan. Asam karbonat itu bersifat asam yang tercemar oleh asam yang kuat, menyebabkan pH air hujan turun dibawah 5,6. Hujan inilah yang merupakan hujan asam (http://sendhysaputro90.wordpress.com, 2009). Banyak dampak negatif yang disebabkan oleh hujan asam, seperti perkaratan pada mobil, rusaknya patung-patung yang terkena hujan asam tersebut.
Dewasa ini, lahan penanaman tumbuhan di perumahan pada daerah perkotaan cenderung sedikit. Hal tersebut disebabkan oleh sempitnya luas lahan bangunan, sehingga bangunan rumah dibuat cenderung rapat dengan pagar. Kondisi tersebut membuat rumah yang dibangun tidak memungkinkan untuk memiliki kebun kecil sebagai media penanaman tanaman rumah. Tanaman rumah penting sebagai penyuplai oksigen (O2) tambahan dan penyerap CO2 yang berbahaya bagi apabila kadarnya berlebihan di atmosfer.
Green wall merupakan suatu metode penanaman yang menggunakan dinding sebagai media penanaman. Green wall dibagi menjadi dua, yaitu living wall dan green screen. Green screen merupakan lapisan vegetatif yang berakar di tanah dan merambat di dinding. Banyak contoh green screen yang telah diaplikasikan dan dengan bermacam-macam jenis tanaman, seperti tanaman sirih-sirihan yang tumbuh merambat pada media tanamnya. Berbeda dengan green screen, living wall menggunakan tanaman yang bukan merambat, sehingga tidak hanya tanaman merambat saja yang dapat ditanam, tetapi tanaman yang bukan merambat juga dapat ditanam di lahan vertikal.
Metode living wall dapat menjadi solusi dalam masalah polusi udara yang berbahaya bagi kehidupan. Sebab, penanaman melalui metode living wall tidak memerlukan lahan yang luas, tetapi memanfaatkan dinding sebagai media tanam. Dengan demikian living wall dapat menjadi solusi dalam usaha mempersempit penggunaan lahan secara horizontal.  Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai konsep living wall dan tanaman apa saja yang tepat untuk ditanam pada media living wall.

 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini, yaitu:
1.        Bagaimanakah konsep living wall?
2.        Tanaman apakah yang dapat dimanfaatkan dalam konsep living wall?
3.        Bagaimanakah proses penyerapan CO2 melalui konsep living wall oleh tumbuhan?
1.3       Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah:
1.        Untuk mengetahui konsep living wall.
2.        Untuk mengetahui macam-macam tanaman yang dapat ditanam pada media living wall.
3.        Untuk mengetahui proses penyerapan CO2 melalui konsep living wall oleh tumbuhan
1.4              Manfaat Penulisan
Hasil penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.      Dapat menjadi alternatif taman rumah bagi rumah yang berlahan sempit.
2.      Dapat membuat udara di rumah terasa lebih bersih, karena tanaman pada living wall menyerap polutan udara berupa CO2 dan menghasilkan udara baru yang bersih (kaya O2).
3.      Pemerintah dapat menjadikan alternatif penghijau kota, karena menggunakan dinding sebagai media tanam.
4.      Sebagai alternatif penghijau kota berlahan sempit, sehingga udara di kota menjadi lebih bersih walaupun dengan kondisi lahan yang sempit.
5.      Membantu pemerintah dalam mengatasi masalah polusi udara, terutama polusi karena gas CO2.
1.5              Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah kajian mengenai living wall yang berpotensi sebagai media tanam dengan lahan vertikal yang bertujuan untuk menyerap CO2, mengenai jenis-jenis tanaman yang tepat ditanam pada living wall, dan proses penyerapan CO2 melalui konsep living wall oleh tumbuhan.

 Pembahasan


Konsep Living Wall
Living wall merupakan salah satu arsitektur penanaman yang dilakukan secara vertikal di fasad bangunan (sisi luar bangunan). Pembuatan living wall dilakukan secara bertahap dengan berbahan dasar bingkai tanah liat, tanah, tanaman tertentu dan kerangka kayu atau besi. Pada langkah awal, bingkai tanah liat digunakan sebagai wadah untuk menempatkan tanah. Bingkai berukuran lebar 50,8 cm dan tinggi 76,2 cm sesuai dengan ukuran sel kotak pada kerangka kayu atau besi. Bingkai yang terbuat dari tanah liat ini dapat menyerap air karena butiran-butiran tanah liat bersifat halus dan berongga. Bingkai yang mampu menyerap air dapat menjaga kelembaban tanah. Kelembaban tanah berperan penting dalam menjaga aktivitas fauna tanah seperti pada cacing tanah. Cacing tanah mengandung air sekitar 75-90% dari berat tubuhnya namun cacing tanah juga melepaskan air ke dalam tanah dan seresah sisa pencernaannya. Sehingga kandungan oksigen di dalam tanah meningkat dan fauna serta mikroorganisme penyubur tanah lain dapat tetap berkembang. Tanah yang dipergunakan pada living wall merupakan tanah khusus yang memiliki karakteristik ringan dan subur dengan mengutamakan kandungan kompos lebih banyak dari unsur tanahnya. Living wall mempergunakan tanah khusus ini bertujuan mengurangi beban tanah dan dapat melekat saat bingkai ditegakkan secara vertikal. Tanah yang ringan dan mengandung kompos dicampurkan dengan sedikit air agar butiran-butiran tanah menempel dan melekat. Tanah menempel dan saling melekat ini ditujukan agar kseimbangan berat tanah terjaga dan tidak jatuh saat pemasangan secara vertikal.
Tanaman yang dimanfaatkan dalam pembuatan living wall berkriteria tanaman yang berukuran sesuai dengan bingkainya karena akar tanaman dapat menjalar dan mengikat sel tanah. Secara mekanik, akar tanaman menunjangkan dan memegang batang pada posisi tegak membawa permukaan daun yang luas. Akar tanaman tumbuh dan memanjang sehingga memperluas jangkauan akar tersebut. Perpanjangan akar tersebut menjadikan permukaan akar lebih mendekati posisi tempat unsur hara berada, baik unsur hara yang berada dalam larutan tanah, permukaan koloid liat dan permukaan koloid organik (mekanisme intersepsi akar). Hal ini menyebabkan tanah pada bingkai dapat di tahan atau terikat oleh akar. Jarak tanaman diatur agar tidak terlalu tebal dan menutupi rapat fasad. Untuk menghasilkan ketebalan ideal dibutuhkan waktu enam bulan sejak masa tanam jika dari tanaman stek yang panjangnya 50 cm. Tanaman yang telah tumbuh dan akarnya telah mengikat sebagian tanah pada bingkai, dipasang pada kerangka kayu atau besi. Kerangka kayu atau besi dipergunakan sebagai tempat menopangnya bingkai-bingkai tanaman hingga tersusun sebuah living wall.
Pembuatan living wall dilakukan secara bertahap dengan mulanya tanaman dikembangbiakkan dalam bingkai. Tanaman dikembangbiakkan kurang lebih selama 4 bulan hingga akar tanaman tumbuh mejalar dan mengikat tanah pada bingkai. Pengikatan tanah oleh akar dapat menjaga tanah dan tidak mudah jatuh. Bingkai tanaman dapat dibuat lebih dari satu dan dipasang pada kerangka kayu atau besi. Kerangka kayu atau besi semula dibuat berlubang kotak dan tiap sel kotak berukuran lebar 50,8 cm dan tinggi 76,2 cm.  Tahap selanjutnya bingkai tanaman dikembangbiakkan secara vertikal. Adapun sistem irigasi pada living wall menggunakan jenis irigasi sprinkle (penyemprotan) atau overhead irrigation yaitu pemberian air dilakukan dari bagian atas tanaman terpancar menyerupai curah hujan. Adapun komponen penyusun sistem irigasi sprinkle yaitu sebagai berikut:
1.        Sumber air irigasi dapat berasal dari mata air, sumber air yang permanen (sungai, danau, dan lain-lain), sumur, atau suatu sistem suplai regional.
2.        Sumber irigasi dapat dioperasikan dengan menggunakan sumber energi yang berasal dari gravitasi, pemompaan pada sumber air, atau penguatan tekanan dengan menggunakan pompa penguat tekanan (booster pump).
3.        Jaringan pipa yaitu lateral (pipa tempat diletakkannya sprinkle), manifold (pipa-pipa penghubung lateral), valve line (pipa tempat diletakkannya katup air), mainline (pipa yang dihubungkan dengan valve line) dan supply line (pipa yang menyalurkan air dari sumber air).
Living wall merupakan salah satu alternatif penghijauan kota yang diterapkan pada media vertikal dari lahan terbatas. Penghijauan perkotaan dapat memulihkan, memelihara dan meningkatkan perlindungan terhadap lingkungan. Tanaman-tanaman yang dimanfaatkan pada living wall dengan bantuan cahaya matahari akan mengalami proses fotosintesis dan menghasilkan zat asam yaitu oksigen (O2) yang baik untuk pernafasan makhluk hidup. Selain itu, keberadaan living wall juga dapat mereduksi udara dengan memanfaatkan tanaman yang mampu menyerap karbon dioksida (CO2) dan menghasilkan oksigen (CO2).  Hal tersebut membuat suhu udara menjadi turun. Berdasarkan penelitian Yamada (2008) menjelaskan bahwa living wall dapat menurunkan suhu hingga sebesar 10oC dan dapat digambarkan melalui grafik dibawah ini.
Berdasarkan pada grafik di atas bahwa terdapat 3 faktor kondisi pada suhu yaitu (1) Hanging planters green wall (penggantungan penanaman green wall), (2) Green wall panels (dinding-dinding green wall), (3) Exposed concrete wall (dinding khusus yang terbuka) yang berpatokan terhadap outside temperature (suhu luar). Pada kondisi hanging planters green wall, suhu masih lebih tinggi dibandingkan suhu luar normal. Pada kondisi green wall panels, suhu mengalami penurunan dari suhu di antara 30,0oC-32,0oC sampai pada suhu diantara 26,0oC-28,0oC dari keadaan suhu luar normal. Pada kondisi exposed concrete wall berada pada suhu mencapai lebih 36,0oC. Berdasarkan data tersebut, suhu pada kondisi Exposed concrete wall yang mencapai 36oC mengalami penurunan sebesar 10oC saat kondisi green wall panels. Living wall yang merupakan bagian dari green wall dapat menghasilkan oksigen (O2) dan menyerap karbon dioksida (CO2) sehingga suhu mengalami penurunan.

4.2  Jenis-Jenis Tanaman yang Digunakan dalam Living Wall
Tanaman yang dimanfaatkan dalam pembuatan living wall merupakan tanaman yang memiliki ciri-ciri berukuran sesuai dengan bingkai tanah liat yang berukuran panjang 50,8 cm dan tinggi 76,2 cm. Tinggi tanaman dapat disesuaikan dengan lebar bingkai tanah liat.  Penyesuaian tinggi tanaman dengan lebar bingkai bertujuan agar akar dapat menahan topangan bagian batang. Akar yang menjalar dan berkembang di dalam tanah akan mengikat tanah dan membuat tanaman tidak mudah jatuh apabila bingkai diletakkan dengan posisi vertikal. Adapun jarak tanaman pada fasad rapat sehingga tanah dapat diikat oleh akar dan tanaman tidak terlepas. Namun, tanaman yang berbatang besar dan bercabang banyak tidak dapat dipergunakan pada living wall karena kesulitan tanaman untuk tumbuh dan tegak pada posisi vertikal. Tanaman yang dapat digunakan pada living wall merupakan tanaman yang memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida (CO2) dengan baik. Tanaman yang memiliki kemampuan CO2 dengan baik akan dapat menurunkan suhu dan menggantikannya dengan O2 sehingga udara dapat bersih dan sehat bagi makhluk hidup.
Berdasarkan hal tersebut, maka tanaman yang dapat dimanfaatkan pada living wall ialah sebagai berikut.
1.      Tanaman Puring
·           Klasifikasi:           Kingdom: plantae (tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Superdivisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub Kelas: Rosidae
Ordo: Euphorbiales
 Famili: Euphorbiaceae
Genus: Codiaeum
Spesies: Codiaeum variegatum
Puring merupakan tanaman asli Indonesia.  Bentuk daun puring sangat bervariasi, ada yang berbentuk bulat telur (ovatus), lonjong (oblongus), jorong (ellipticus), ada juga yang berbentuk pita( linear), masing-masing daun mempunyai corak warna yang berbeda. Sosok batang puring ada 2 macam yaitu bulat dan bersudut, pertumbuhan batang tegak menjulang ke atas dengan percabangan banyak. Daun puring mengandung senyawa saponin, flavanoida, dan polifenol. Tanaman puring merupakan tanaman hias pekarangan populer berbentuk perdu dengan bentuk dan warna daun yang bervariasi. Tanaman ini selain bermanfaat sebagai tanaman hias di pekarangan, juga berfungsi sebagai penyedia oksigen dengan volume 0,00097877 m3 di udara. Selain itu, tanaman puring dapat menyerap CO2 di udara dengan kemampuan serapannya yaitu 13,14080947 gr/sekon. Pada saat terjadinya proses fotosintesis, CO2 yang diserap oleh tanaman puring akan bereaksi dengan H2O dan menghasilkan glukosa (C6H12O6) dan O2.  Adapun efisiensi CO2 menjadai O2 pada tanaman puring sebesar 22,06%. Sehingga dengan pemanfaatan tanaman ini maka dapat mengurangi kapasitas CO2 di udara.
2.        Tanaman Ngokilo
·           Klasifikasi: Kingdom: Plantae (tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua/ dikotil)
Sub Kelas: Asteridae
Ordo: Scrophulariales
Famili: Acanthaceae
Genus: Strobilanthes
Spesies: Stachytarpheta mutabilis, Vahl.
Tanaman ngokilo adalah suatu jenis tumbuhan yang berbatang basah dan menyerupai rumput berbatang tegak. Batang tanaman ini berdiameter antara 0,2-0,7 cm dan memiliki kulit luar berwarna ungu dengan bintik-bintik hijau atau coklat saat tua. Tanaman ini dapat dimanfaatkan pada living wall karena ukuran tanamannya yang tidak besar dan kemampuannya menyerap CO2. Tanaman ngokilo memiliki kemampuan menyerap CO2 sebesar 0,04128339 gr/sekon. Pada proses fotosintesis, tanaman ngokilo menyerap CO2 dan menghasilkan O2 dengan efisiensi CO2 menjadi O2 sekitar 0,826%. Tanaman ini bermanfaat dalam penyediaan O2 di udara.

3.      Lidah Mertua
·           Klasifikasi:  Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas: Liliidae
Ordo: Liliales
Famili: Agavaceae
Genus: Sansevieria
Spesies: Sansevieria trifasciata
Lidah mertua merupakan salah satu tanaman hias yang memiliki ciri-ciri warna daun yang beragam, seperti warna hijau tua, hijau muda, hijau abu-abu, perak dan kombinasi putih kuning atau kuning. Tanaman ini memiliki motif alur atau garis-garis yang terdapat pada helai daun yang beragam, seperti alur mengikuti arah serat daun, tidak beraturan, dan zig-zag. Daun tanaman ini tumbuh langsung dari rimpang akar di dalam tanah yang berukuran panjang 15-150 cm dan lebar 4-9 cm. Lidah Mertua menyerap polutan seperti karbon CO2 yang telah diserap stomata akan memasuki sistem metabolism dalam tubuh. CO2 kemudian dikirim ke akar, pada bagian akar, mikroba melakukan proses detoksifikasi. Melalui proses ini, mikroba akan menghasilkan suatu zat yang diperlukan oleh lidah mertua. Dalam proses pernapasan tersebut dihasilkan gas yang bermanfaat bagi manusia yaitu berupa O2. Proses ini berlangsung terus menerus selama lidah mertua masih hidup.
4.      Tanaman Krisan
·           Klasifikasi: Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliophyta (berkeping dua/dikotil)
Sub Kelas: Asteridae
Ordo: Asterales
Famili: Asteraceae
Genus: Chrysanthemum
Spesies: Chrysanthemum x grandiflorum
Bunga krisan merupakan salah satu tanaman hias yang mempunyai prospek yang baik untuk dibudidayakan. Pada umumnya, tanaman ini ditanam pada lahan dengan ketinggian antara 700-1200 di atas permukaan laut. Dalam pengembangbiakkan tanaman ini berada pada suhu 17oC-30oC. tanaman krisan mulai berbunga pada umur 10-14 minggu setelah ditanam dan sesuai dengan varietasnya. Selain tanaman ini berfungsi sebagai tanaman hias, tanaman ini juga dapat menyerap CO2 dan menghasilkan O2 di udara.

4.3       Proses Penyerapan CO2 Melalui Konsep Living Wall
Proses penyerapan CO2 dilakukan oleh tumbuhan hijau yang tumbuh pada media living wall. Penyerapan CO2 dilakukan oleh tumbuhan dan digunakan untuk proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis tumbuhan hijau mengambil CO2 dan mengeluarkan C6H12O6 serta peranan O2 yang sangat dibutuhkan makhluk hidup. Oleh karena itu, peranan tumbuhan hijau sangat diperlukan untuk menjaring CO2 dan melepas O2 kembali ke udara. Di samping itu berbagai proses metabolisme tumbuhan hijau dapat memberikan berbagai fungsi untuk kebutuhan makhluk hidup yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan.
Persamaan reaksi fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan dapat dituliskan sebagai berikut:
CO2 [g] + 6H2O [g]            ---->                                C6H12O6 + 6O2 [g]
Gas CO2 ini adalah suatu polutan yang juga merupakan salah satu gas rumah kaca yang berpengaruh terhadap pemanasan global. Gas CO2 merupakan gas buangan yang banyak dihasilkan dari proses pembakaran yang terjadi di seluruh permukaan bumi, seperti pembakaran sampah, gas buang hasil penggunaan mesin pabrik, asap kendaraan yang biasa kita hirup, dan lain-lain. Proses penyerapan CO2 ini merupakan proses yang melibatkan suatu reaksi. Pada dasarnya, rangkaian reaksi fotosintesis dapat dibagi menjadi dua bagian utama: reaksi terang (karena memerlukan cahaya) dan reaksi gelap (tidak memerlukan cahaya tetapi memerlukan karbon dioksida).


4.3.1 Reaksi terang
Reaksi terang adalah proses untuk menghasilkan ATP dan reduksi NADPH2. Reaksi ini memerlukan molekul air. Proses diawali dengan penangkapan foton oleh pigmen sebagai antena.
Pigmen klorofil menyerap lebih banyak cahaya terlihat pada warna biru (400-450 nanometer) dan merah (650-700 nanometer) dibandingkan hijau (500-600 nanometer). Cahaya hijau ini akan dipantulkan dan ditangkap oleh mata kita sehingga menimbulkan sensasi bahwa daun berwarna hijau. Fotosintesis akan menghasilkan lebih banyak energi pada gelombang cahaya dengan panjang tertentu. Hal ini karena panjang gelombang yang pendek menyimpan lebih banyak energi.
Di dalam daun, cahaya akan diserap oleh molekul klorofil untuk dikumpulkan pada pusat-pusat reaksi. Tumbuhan memiliki dua jenis pigmen yang berfungsi aktif sebagai pusat reaksi atau fotosistem yaitu fotosistem II dan fotosistem I. Fotosistem II terdiri dari molekul klorofil yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 680 nanometer, sedangkan fotosistem I 700 nanometer. Kedua fotosistem ini akan bekerja secara simultan dalam fotosintesis, seperti dua baterai dalam senter yang bekerja saling memperkuat.
Fotosintesis dimulai ketika cahaya mengionisasi molekul klorofil pada fotosistem II, membuatnya melepaskan elektron yang akan ditransfer sepanjang rantai transpor elektron. Energi dari elektron ini digunakan untuk fotofosforilasi yang menghasilkan ATP, satuan pertukaran energi dalam sel. Reaksi ini menyebabkan fotosistem II mengalami defisit atau kekurangan elektron yang harus segera diganti. Pada tumbuhan dan alga, kekurangan elektron ini dipenuhi oleh elektron dari hasil ionisasi air yang terjadi bersamaan dengan ionisasi klorofil. Hasil ionisasi air ini adalah elektron dan oksigen.
Oksigen dari proses fotosintesis hanya dihasilkan dari air, bukan dari karbon dioksida. Pendapat ini pertama kali diungkapkan oleh C.B. van Neil yang mempelajari bakteri fotosintetik pada tahun 1930-an. Bakteri fotosintetik, selain sianobakteri, menggunakan tidak menghasilkan oksigen karena menggunakan ionisasi sulfida atau hidrogen.
Pada saat yang sama dengan ionisasi fotosistem II, cahaya juga mengionisasi fotosistem I, melepaskan elektron yang ditransfer sepanjang rantai transpor elektron yang akhirnya mereduksi NADP menjadi NADPH. Tahap pertama dari sistem fotosintesis adalah reaksi terang, yang sangat bergantung kepada ketersediaan sinar matahari. Reaksi terang merupakan penggerak bagi reaksi pengikatan CO2 dari udara. Reaksi ini melibatkan beberapa kompleks protein dari membran tilakoid yang terdiri dari sistem cahaya (fotosistem I dan II), sistem pembawa elektron, dan komplek protein pembentuk ATP (enzim ATP sintase). Reaksi terang mengubah energi cahaya menjadi energi kimia, juga menghasilkan oksigen dan mengubah ADP dan NADP+ menjadi energi pembawa ATP dan NADPH.
Reaksi terang terjadi di tilakoid, yaitu struktur cakram yang terbentuk dari pelipatan membran dalam kloroplas. Membran tilakoid menangkap energi cahaya dan mengubahnya menjadi energi kimia. Jika ada bertumpuk-tumpuk tilakoid, maka disebut grana.
Secara ringkas, reaksi terang pada fotosintesis ini terbagi menjadi dua, yaitu fosforilasi siklik dan fosforilasi nonsiklik. Fosforilasi adalah reaksi penambahan gugus fosfat kepada senyawa organik untuk membentuk senyawa fosfat organik. Pada reaksi terang, karena dibantu oleh cahaya, fosforilasi ini disebut juga fotofosforilasi.
1.     Fotofosforilasi Siklik
Reaksi fotofosforilasi siklik adalah reaksi yang hanya melibatkan satu fotosistem, yaitu fotosistem I. Dalam fotofosforilasi siklik, pergerakan elektron dimulai dari fotosistem I dan berakhir di fotosistem I. Pertama, energi cahaya, yang dihasilkan oleh matahari, membuat elektron-elektron di P700 tereksitasi (menjadi aktif karena rangsangan dari luar), dan keluar menuju akseptor elektron primer kemudian menuju rantai transpor elektron. Karena P700 mentransfer elektronnya ke akseptor elektron, P700 mengalami defisiensi elektron dan tidak dapat melaksanakan fungsinya. Selama perpindahan elektron dari akseptor satu ke akseptor lain, selalu terjadi transformasi hidrogen bersama-sama elektron. Rantai transpor ini menghasilkan gaya penggerak proton, yang memompa ion H+ melewati membran, yang kemudian menghasilkan gradien konsentrasi yang dapat digunakan untuk menggerakkan sintase ATP selama kemiosmosis, yang kemudian menghasilkan ATP. Dari rantai transpor, elektron kembali ke fotosistem I. Dengan kembalinya elektron ke fotosistem I, maka fotosistem I dapat kembali melaksanakan fungsinya. Fotofosforilasi siklik terjadi pada beberapa bakteri, dan juga terjadi pada semua organisme fotoautotrof.
2.     Fotofosforilasi Nonsiklik
Reaksi fotofosforilasi nonsiklik adalah reaksi dua tahap yang melibatkan dua fotosistem klorofil yang berbeda, yaitu fotosistem I dan II. Dalam fotofosforilasi nonsiklik, pergerakan elektron dimulai di fotosistem II, tetapi elektron tidak kembali lagi ke fotosistem II. Mula-mula, molekul air diurai menjadi 2H+ + 1/2O2 + 2e-. Dua elektron dari molekul air tersimpan di fotosistem II, sementara ion H+ akan digunakan pada reaksi yang lain dan O2 akan dilepaskan ke udara bebas. Karena tersinari oleh cahaya matahari, dua elektron yang ada di P680 menjadi tereksitasi dan keluar menuju akseptor elektron primer. Setelah terjadi transfer elektron, P680 menjadi defisiensi elektron, tetapi dapat cepat dipulihkan berkat elektron dari hasil penguraian air tadi. Setelah itu mereka bergerak lagi ke rantai transpor elektron, yang membawa mereka melewati pheophytin, plastoquinon, komplek sitokrom b6f, plastosianin, dan akhirnya sampai di fotosistem I, tepatnya di P700. Perjalanan elektron diatas disebut juga dengan “skema Z”. Sepanjang perjalanan di rantai transpor, dua elektron tersebut mengeluarkan energi untuk reaksi sintesis kemiosmotik ATP, yang kemudian menghasilkan ATP.
Sesampainya di fotosistem I, dua elektron tersebut mendapat pasokan tenaga yang cukup besar dari cahaya matahari. Kemudian elektron itu bergerak ke molekul akseptor, feredoksin, dan akhirnya sampai di ujung rantai transpor, dimana dua elektron tersebut telah ditunggu oleh NADP+ dan H+, yang berasal dari penguraian air. Dengan bantuan suatu enzim bernama Feredoksin-NADP reduktase, disingkat FNR, NADP+, H+, dan elektron tersebut menjalani suatu reaksi:
NADP+ + H+ + 2e- —> NADPH
NADPH, sebagai hasil reaksi diatas, akan digunakan dalam reaksi Calvin-Benson, atau reaksi gelap.

4.3.2 Reaksi gelap

Reaksi gelap merupakan reaksi lanjutan dari reaksi terang dalam fotosintesishttps://www.facebook.com/balitbangpu. Reaksi ini tidak membutuhkan cahaya. Reaksi gelap terjadi pada bagian kloroplas yang disebut stroma. Bahan reaksi gelap adalah ATP dan NADPH, yang dihasilkan dari reaksi terang, dan CO2, yang berasal dari udara bebas. Dari reaksi gelap ini, dihasilkan glukosa (C6H12O6), yang sangat diperlukan bagi reaksi katabolisme. Reaksi ini ditemukan oleh Melvin Calvin dan Andrew Benson, karena itu reaksi gelap disebut juga reaksi Calvin-Benson.
Salah satu substansi penting dalam proses ini ialah senyawa gula beratom karbon lima yang terfosforilasi yaitu ribulosa fosfat. Jika diberikan gugus fosfat kedua dari ATP maka dihasilkan ribulosa difosfat (RDP). Ribulosa difosfat ini yang nantinya akan mengikat CO2 dalam reaksi gelap. Secara umum, reaksi gelap dapat dibagi menjadi tiga tahapan (fase), yaitu fiksasi, reduksi, dan regenerasi.
Pada fase fiksasi, 6 molekul ribulosa difosfat mengikat 6 molekul CO2 dari udara dan membentuk 6 molekul beratom C6 yang tidak stabil yang kemudian pecah menjadi 12 molekul beratom C3 yang dikenal dengan 3-asam fosfogliserat (APG/PGA). Selanjutnya, 3-asam fosfogliserat ini mendapat tambahan 12 gugus fosfat, dan membentuk 1,3-bifosfogliserat. Kemudian, 1,3-bifosfogliserat masuk ke dalam fase reduksi, dimana senyawa ini direduksi oleh H+ dari NADPH, yang kemudian berubah menjadi NADP+, dan terbentuklah 12 molekul fosfogliseraldehid (PGAL) yang beratom 3C. Selanjutnya, 2 molekul fosfogliseraldehid melepaskan diri dan menyatukan diri menjadi 1 molekul glukosa yang beratom 6C (C6H12O6). 10 molekul fosfogliseraldehid yang tersisa kemudian masuk ke dalam fase regenerasi, yaitu pembentukan kembali ribulosa difosfat. Pada fase ini, 10 molekul fosfogliseraldehid berubah menjadi 6 molekul ribulosa fosfat. Jika mendapat tambahan gugus fosfat, maka ribulosa fosfat akan berubah menjadi ribulosa difosfat (RDP), yang kemudian kembali mengikat CO2 dan menjalani siklus reaksi gelap.
Reaksi terang dan reaksi gelap di atas berhubungan dengan produksi O2 di udara. Gas CO2 diperlukan untuk memproduksi glukosa dan O2. Sehingga, semakin banyak suatu tempat ditumbuhi tanaman, maka semakin tinggi produksi O2 pada lingkungan tersebut. Melalui konsep living wall, diharapkan dapat menampung tumbuhan dalam jumlah banyak dan mampu memproduksi O2 dalam jumlah tinggi pula, sehingga dengan semakin rendah kadar CO2 dalam udara dan semakin tinggi produksi O2 oleh tumbuhan, dapat mewujudkan Denpasar yang hijau dan sehat. Hijau, karena asri dan rindang, serta sehat, karena dengan rendahnya konsentrasi CO2 dan tingginya konsentrasi O2 dalam udara, dapat mengurangi jumlah risiko masyarakat terjangkit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Konsep living wall dapat membantu pemerintah mengurangi jumlah penderita ISPA dan membantu menghijaukan lingkungan kota Denpasar, di tengah masalah sempitnya lahan rumah masyarakat perkotaan, yang kurang memungkinkan untuk membuat sebuah taman horizontal. Karena konsep living wall menggunakan media berupa tanah vertikal, sehingga tidak memerlukan lahan horizontal yang luas untuk menanam tanaman-tanaman tertentu.

0 komentar:

Home

Minggu, 17 November 2013

Konsep Living Wall sebagai Penyerap CO2 dalam Upaya Menuju Denpasar Hijau dan Sehat



Di era globalisasi yang semakin maju dan deras ini, manusia terus dituntut untuk berkembang mengikuti zaman. Salah satu sifat manusia adalah selalu menginginkan sesuatu hal yang lebih baik lagi dari apa yang sekarang didapat, karena tidak ada rasa puas dalam diri manusia ketika apa yang diinginkannya telah tercapai maka akan terus dan terus menginginkan sesuatu hal yang baru, yang lebih dari apa yang sudah di dapat. Hal tersebut mendorong inovasi baru dari manusia untuk terus membuat alat-alat canggih yang dapat membantu hidup dan mempermudah kegiatan manusia. Pembuatan alat-alat canggih tersebut di samping mempermudah manusia dalam melakukan kegiatannya, juga dapat memberi banyak dampak negatif. Salah satu contoh adalah asap pabrik dan kendaraan yang mencemari udara. Gambaran tercemarnya kualitas udara di sejumlah ruas jalan di Denpasar ini ditunjukkan dari hasil uji emisi tahun 2008 lalu. Dari 1.645 kendaraan r
oda empat yang diuji emisinya, ternyata 930 unit kendaraan roda empat atau 56,53 % dari total sampel yang diuji, emisi gas buangnya berada di atas ambang batas baku mutu atau tidak lulus uji (http://www.balipost.co.id, tt ).
Udara adalah unsur terpenting, bersama unsur-unsur lain, dalam kehidupan manusia. Udara merupakan campuran mekanis dari bermacam-macam gas. Komposisi udara normal terdiri atas gas nitrogen 78,1 %, oksigen 20,93 %, dan karbondioksida 0,03%, sementara selebihnya berupa gas argon, neon, kripton, xenon dan helium. Udara juga mengandung uap air, debu, bakteri, spora dan sisa tumbuh-tumbuhan. (Chandra, 2006). Apabila udara yang merupakan unsur terpenting dalam hidup manusia menjadi tercemar, maka banyak masalah yang akan timbul setelah manusia menghirup udara tersebut terus menerus. Berbagai penyakit pernafasan menjangkit manusia dan bahkan dapat berdampak kematian, misal penyakit TBC. Indonesia berada di urutan ketiga terbanyak di dunia dalam jumlah penderita TBC, dengan hampir 600.000 kasus TBC baru setiap tahunnya. Selain itu, polutan yang dihasilkan oleh pabrik maupun kendaraan bermotor tersebut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti hujan asam. (http://dinkes-sulsel.go.id, tt).
Hujan asam diartikan sebagai segala macam hujan dengan pH di bawah 5,6. Hujan yang normal, yaitu hujan yang tidak tercemar, mempunyai pH sekitar 5,6. Hal ini disebabkan gas CO2 didalam air hujan. Asam karbonat itu bersifat asam yang tercemar oleh asam yang kuat, menyebabkan pH air hujan turun dibawah 5,6. Hujan inilah yang merupakan hujan asam (http://sendhysaputro90.wordpress.com, 2009). Banyak dampak negatif yang disebabkan oleh hujan asam, seperti perkaratan pada mobil, rusaknya patung-patung yang terkena hujan asam tersebut.
Dewasa ini, lahan penanaman tumbuhan di perumahan pada daerah perkotaan cenderung sedikit. Hal tersebut disebabkan oleh sempitnya luas lahan bangunan, sehingga bangunan rumah dibuat cenderung rapat dengan pagar. Kondisi tersebut membuat rumah yang dibangun tidak memungkinkan untuk memiliki kebun kecil sebagai media penanaman tanaman rumah. Tanaman rumah penting sebagai penyuplai oksigen (O2) tambahan dan penyerap CO2 yang berbahaya bagi apabila kadarnya berlebihan di atmosfer.
Green wall merupakan suatu metode penanaman yang menggunakan dinding sebagai media penanaman. Green wall dibagi menjadi dua, yaitu living wall dan green screen. Green screen merupakan lapisan vegetatif yang berakar di tanah dan merambat di dinding. Banyak contoh green screen yang telah diaplikasikan dan dengan bermacam-macam jenis tanaman, seperti tanaman sirih-sirihan yang tumbuh merambat pada media tanamnya. Berbeda dengan green screen, living wall menggunakan tanaman yang bukan merambat, sehingga tidak hanya tanaman merambat saja yang dapat ditanam, tetapi tanaman yang bukan merambat juga dapat ditanam di lahan vertikal.
Metode living wall dapat menjadi solusi dalam masalah polusi udara yang berbahaya bagi kehidupan. Sebab, penanaman melalui metode living wall tidak memerlukan lahan yang luas, tetapi memanfaatkan dinding sebagai media tanam. Dengan demikian living wall dapat menjadi solusi dalam usaha mempersempit penggunaan lahan secara horizontal.  Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai konsep living wall dan tanaman apa saja yang tepat untuk ditanam pada media living wall.

 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini, yaitu:
1.        Bagaimanakah konsep living wall?
2.        Tanaman apakah yang dapat dimanfaatkan dalam konsep living wall?
3.        Bagaimanakah proses penyerapan CO2 melalui konsep living wall oleh tumbuhan?
1.3       Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah:
1.        Untuk mengetahui konsep living wall.
2.        Untuk mengetahui macam-macam tanaman yang dapat ditanam pada media living wall.
3.        Untuk mengetahui proses penyerapan CO2 melalui konsep living wall oleh tumbuhan
1.4              Manfaat Penulisan
Hasil penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.      Dapat menjadi alternatif taman rumah bagi rumah yang berlahan sempit.
2.      Dapat membuat udara di rumah terasa lebih bersih, karena tanaman pada living wall menyerap polutan udara berupa CO2 dan menghasilkan udara baru yang bersih (kaya O2).
3.      Pemerintah dapat menjadikan alternatif penghijau kota, karena menggunakan dinding sebagai media tanam.
4.      Sebagai alternatif penghijau kota berlahan sempit, sehingga udara di kota menjadi lebih bersih walaupun dengan kondisi lahan yang sempit.
5.      Membantu pemerintah dalam mengatasi masalah polusi udara, terutama polusi karena gas CO2.
1.5              Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah kajian mengenai living wall yang berpotensi sebagai media tanam dengan lahan vertikal yang bertujuan untuk menyerap CO2, mengenai jenis-jenis tanaman yang tepat ditanam pada living wall, dan proses penyerapan CO2 melalui konsep living wall oleh tumbuhan.

 Pembahasan


Konsep Living Wall
Living wall merupakan salah satu arsitektur penanaman yang dilakukan secara vertikal di fasad bangunan (sisi luar bangunan). Pembuatan living wall dilakukan secara bertahap dengan berbahan dasar bingkai tanah liat, tanah, tanaman tertentu dan kerangka kayu atau besi. Pada langkah awal, bingkai tanah liat digunakan sebagai wadah untuk menempatkan tanah. Bingkai berukuran lebar 50,8 cm dan tinggi 76,2 cm sesuai dengan ukuran sel kotak pada kerangka kayu atau besi. Bingkai yang terbuat dari tanah liat ini dapat menyerap air karena butiran-butiran tanah liat bersifat halus dan berongga. Bingkai yang mampu menyerap air dapat menjaga kelembaban tanah. Kelembaban tanah berperan penting dalam menjaga aktivitas fauna tanah seperti pada cacing tanah. Cacing tanah mengandung air sekitar 75-90% dari berat tubuhnya namun cacing tanah juga melepaskan air ke dalam tanah dan seresah sisa pencernaannya. Sehingga kandungan oksigen di dalam tanah meningkat dan fauna serta mikroorganisme penyubur tanah lain dapat tetap berkembang. Tanah yang dipergunakan pada living wall merupakan tanah khusus yang memiliki karakteristik ringan dan subur dengan mengutamakan kandungan kompos lebih banyak dari unsur tanahnya. Living wall mempergunakan tanah khusus ini bertujuan mengurangi beban tanah dan dapat melekat saat bingkai ditegakkan secara vertikal. Tanah yang ringan dan mengandung kompos dicampurkan dengan sedikit air agar butiran-butiran tanah menempel dan melekat. Tanah menempel dan saling melekat ini ditujukan agar kseimbangan berat tanah terjaga dan tidak jatuh saat pemasangan secara vertikal.
Tanaman yang dimanfaatkan dalam pembuatan living wall berkriteria tanaman yang berukuran sesuai dengan bingkainya karena akar tanaman dapat menjalar dan mengikat sel tanah. Secara mekanik, akar tanaman menunjangkan dan memegang batang pada posisi tegak membawa permukaan daun yang luas. Akar tanaman tumbuh dan memanjang sehingga memperluas jangkauan akar tersebut. Perpanjangan akar tersebut menjadikan permukaan akar lebih mendekati posisi tempat unsur hara berada, baik unsur hara yang berada dalam larutan tanah, permukaan koloid liat dan permukaan koloid organik (mekanisme intersepsi akar). Hal ini menyebabkan tanah pada bingkai dapat di tahan atau terikat oleh akar. Jarak tanaman diatur agar tidak terlalu tebal dan menutupi rapat fasad. Untuk menghasilkan ketebalan ideal dibutuhkan waktu enam bulan sejak masa tanam jika dari tanaman stek yang panjangnya 50 cm. Tanaman yang telah tumbuh dan akarnya telah mengikat sebagian tanah pada bingkai, dipasang pada kerangka kayu atau besi. Kerangka kayu atau besi dipergunakan sebagai tempat menopangnya bingkai-bingkai tanaman hingga tersusun sebuah living wall.
Pembuatan living wall dilakukan secara bertahap dengan mulanya tanaman dikembangbiakkan dalam bingkai. Tanaman dikembangbiakkan kurang lebih selama 4 bulan hingga akar tanaman tumbuh mejalar dan mengikat tanah pada bingkai. Pengikatan tanah oleh akar dapat menjaga tanah dan tidak mudah jatuh. Bingkai tanaman dapat dibuat lebih dari satu dan dipasang pada kerangka kayu atau besi. Kerangka kayu atau besi semula dibuat berlubang kotak dan tiap sel kotak berukuran lebar 50,8 cm dan tinggi 76,2 cm.  Tahap selanjutnya bingkai tanaman dikembangbiakkan secara vertikal. Adapun sistem irigasi pada living wall menggunakan jenis irigasi sprinkle (penyemprotan) atau overhead irrigation yaitu pemberian air dilakukan dari bagian atas tanaman terpancar menyerupai curah hujan. Adapun komponen penyusun sistem irigasi sprinkle yaitu sebagai berikut:
1.        Sumber air irigasi dapat berasal dari mata air, sumber air yang permanen (sungai, danau, dan lain-lain), sumur, atau suatu sistem suplai regional.
2.        Sumber irigasi dapat dioperasikan dengan menggunakan sumber energi yang berasal dari gravitasi, pemompaan pada sumber air, atau penguatan tekanan dengan menggunakan pompa penguat tekanan (booster pump).
3.        Jaringan pipa yaitu lateral (pipa tempat diletakkannya sprinkle), manifold (pipa-pipa penghubung lateral), valve line (pipa tempat diletakkannya katup air), mainline (pipa yang dihubungkan dengan valve line) dan supply line (pipa yang menyalurkan air dari sumber air).
Living wall merupakan salah satu alternatif penghijauan kota yang diterapkan pada media vertikal dari lahan terbatas. Penghijauan perkotaan dapat memulihkan, memelihara dan meningkatkan perlindungan terhadap lingkungan. Tanaman-tanaman yang dimanfaatkan pada living wall dengan bantuan cahaya matahari akan mengalami proses fotosintesis dan menghasilkan zat asam yaitu oksigen (O2) yang baik untuk pernafasan makhluk hidup. Selain itu, keberadaan living wall juga dapat mereduksi udara dengan memanfaatkan tanaman yang mampu menyerap karbon dioksida (CO2) dan menghasilkan oksigen (CO2).  Hal tersebut membuat suhu udara menjadi turun. Berdasarkan penelitian Yamada (2008) menjelaskan bahwa living wall dapat menurunkan suhu hingga sebesar 10oC dan dapat digambarkan melalui grafik dibawah ini.
Berdasarkan pada grafik di atas bahwa terdapat 3 faktor kondisi pada suhu yaitu (1) Hanging planters green wall (penggantungan penanaman green wall), (2) Green wall panels (dinding-dinding green wall), (3) Exposed concrete wall (dinding khusus yang terbuka) yang berpatokan terhadap outside temperature (suhu luar). Pada kondisi hanging planters green wall, suhu masih lebih tinggi dibandingkan suhu luar normal. Pada kondisi green wall panels, suhu mengalami penurunan dari suhu di antara 30,0oC-32,0oC sampai pada suhu diantara 26,0oC-28,0oC dari keadaan suhu luar normal. Pada kondisi exposed concrete wall berada pada suhu mencapai lebih 36,0oC. Berdasarkan data tersebut, suhu pada kondisi Exposed concrete wall yang mencapai 36oC mengalami penurunan sebesar 10oC saat kondisi green wall panels. Living wall yang merupakan bagian dari green wall dapat menghasilkan oksigen (O2) dan menyerap karbon dioksida (CO2) sehingga suhu mengalami penurunan.

4.2  Jenis-Jenis Tanaman yang Digunakan dalam Living Wall
Tanaman yang dimanfaatkan dalam pembuatan living wall merupakan tanaman yang memiliki ciri-ciri berukuran sesuai dengan bingkai tanah liat yang berukuran panjang 50,8 cm dan tinggi 76,2 cm. Tinggi tanaman dapat disesuaikan dengan lebar bingkai tanah liat.  Penyesuaian tinggi tanaman dengan lebar bingkai bertujuan agar akar dapat menahan topangan bagian batang. Akar yang menjalar dan berkembang di dalam tanah akan mengikat tanah dan membuat tanaman tidak mudah jatuh apabila bingkai diletakkan dengan posisi vertikal. Adapun jarak tanaman pada fasad rapat sehingga tanah dapat diikat oleh akar dan tanaman tidak terlepas. Namun, tanaman yang berbatang besar dan bercabang banyak tidak dapat dipergunakan pada living wall karena kesulitan tanaman untuk tumbuh dan tegak pada posisi vertikal. Tanaman yang dapat digunakan pada living wall merupakan tanaman yang memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida (CO2) dengan baik. Tanaman yang memiliki kemampuan CO2 dengan baik akan dapat menurunkan suhu dan menggantikannya dengan O2 sehingga udara dapat bersih dan sehat bagi makhluk hidup.
Berdasarkan hal tersebut, maka tanaman yang dapat dimanfaatkan pada living wall ialah sebagai berikut.
1.      Tanaman Puring
·           Klasifikasi:           Kingdom: plantae (tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Superdivisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub Kelas: Rosidae
Ordo: Euphorbiales
 Famili: Euphorbiaceae
Genus: Codiaeum
Spesies: Codiaeum variegatum
Puring merupakan tanaman asli Indonesia.  Bentuk daun puring sangat bervariasi, ada yang berbentuk bulat telur (ovatus), lonjong (oblongus), jorong (ellipticus), ada juga yang berbentuk pita( linear), masing-masing daun mempunyai corak warna yang berbeda. Sosok batang puring ada 2 macam yaitu bulat dan bersudut, pertumbuhan batang tegak menjulang ke atas dengan percabangan banyak. Daun puring mengandung senyawa saponin, flavanoida, dan polifenol. Tanaman puring merupakan tanaman hias pekarangan populer berbentuk perdu dengan bentuk dan warna daun yang bervariasi. Tanaman ini selain bermanfaat sebagai tanaman hias di pekarangan, juga berfungsi sebagai penyedia oksigen dengan volume 0,00097877 m3 di udara. Selain itu, tanaman puring dapat menyerap CO2 di udara dengan kemampuan serapannya yaitu 13,14080947 gr/sekon. Pada saat terjadinya proses fotosintesis, CO2 yang diserap oleh tanaman puring akan bereaksi dengan H2O dan menghasilkan glukosa (C6H12O6) dan O2.  Adapun efisiensi CO2 menjadai O2 pada tanaman puring sebesar 22,06%. Sehingga dengan pemanfaatan tanaman ini maka dapat mengurangi kapasitas CO2 di udara.
2.        Tanaman Ngokilo
·           Klasifikasi: Kingdom: Plantae (tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua/ dikotil)
Sub Kelas: Asteridae
Ordo: Scrophulariales
Famili: Acanthaceae
Genus: Strobilanthes
Spesies: Stachytarpheta mutabilis, Vahl.
Tanaman ngokilo adalah suatu jenis tumbuhan yang berbatang basah dan menyerupai rumput berbatang tegak. Batang tanaman ini berdiameter antara 0,2-0,7 cm dan memiliki kulit luar berwarna ungu dengan bintik-bintik hijau atau coklat saat tua. Tanaman ini dapat dimanfaatkan pada living wall karena ukuran tanamannya yang tidak besar dan kemampuannya menyerap CO2. Tanaman ngokilo memiliki kemampuan menyerap CO2 sebesar 0,04128339 gr/sekon. Pada proses fotosintesis, tanaman ngokilo menyerap CO2 dan menghasilkan O2 dengan efisiensi CO2 menjadi O2 sekitar 0,826%. Tanaman ini bermanfaat dalam penyediaan O2 di udara.

3.      Lidah Mertua
·           Klasifikasi:  Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas: Liliidae
Ordo: Liliales
Famili: Agavaceae
Genus: Sansevieria
Spesies: Sansevieria trifasciata
Lidah mertua merupakan salah satu tanaman hias yang memiliki ciri-ciri warna daun yang beragam, seperti warna hijau tua, hijau muda, hijau abu-abu, perak dan kombinasi putih kuning atau kuning. Tanaman ini memiliki motif alur atau garis-garis yang terdapat pada helai daun yang beragam, seperti alur mengikuti arah serat daun, tidak beraturan, dan zig-zag. Daun tanaman ini tumbuh langsung dari rimpang akar di dalam tanah yang berukuran panjang 15-150 cm dan lebar 4-9 cm. Lidah Mertua menyerap polutan seperti karbon CO2 yang telah diserap stomata akan memasuki sistem metabolism dalam tubuh. CO2 kemudian dikirim ke akar, pada bagian akar, mikroba melakukan proses detoksifikasi. Melalui proses ini, mikroba akan menghasilkan suatu zat yang diperlukan oleh lidah mertua. Dalam proses pernapasan tersebut dihasilkan gas yang bermanfaat bagi manusia yaitu berupa O2. Proses ini berlangsung terus menerus selama lidah mertua masih hidup.
4.      Tanaman Krisan
·           Klasifikasi: Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliophyta (berkeping dua/dikotil)
Sub Kelas: Asteridae
Ordo: Asterales
Famili: Asteraceae
Genus: Chrysanthemum
Spesies: Chrysanthemum x grandiflorum
Bunga krisan merupakan salah satu tanaman hias yang mempunyai prospek yang baik untuk dibudidayakan. Pada umumnya, tanaman ini ditanam pada lahan dengan ketinggian antara 700-1200 di atas permukaan laut. Dalam pengembangbiakkan tanaman ini berada pada suhu 17oC-30oC. tanaman krisan mulai berbunga pada umur 10-14 minggu setelah ditanam dan sesuai dengan varietasnya. Selain tanaman ini berfungsi sebagai tanaman hias, tanaman ini juga dapat menyerap CO2 dan menghasilkan O2 di udara.

4.3       Proses Penyerapan CO2 Melalui Konsep Living Wall
Proses penyerapan CO2 dilakukan oleh tumbuhan hijau yang tumbuh pada media living wall. Penyerapan CO2 dilakukan oleh tumbuhan dan digunakan untuk proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis tumbuhan hijau mengambil CO2 dan mengeluarkan C6H12O6 serta peranan O2 yang sangat dibutuhkan makhluk hidup. Oleh karena itu, peranan tumbuhan hijau sangat diperlukan untuk menjaring CO2 dan melepas O2 kembali ke udara. Di samping itu berbagai proses metabolisme tumbuhan hijau dapat memberikan berbagai fungsi untuk kebutuhan makhluk hidup yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan.
Persamaan reaksi fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan dapat dituliskan sebagai berikut:
CO2 [g] + 6H2O [g]            ---->                                C6H12O6 + 6O2 [g]
Gas CO2 ini adalah suatu polutan yang juga merupakan salah satu gas rumah kaca yang berpengaruh terhadap pemanasan global. Gas CO2 merupakan gas buangan yang banyak dihasilkan dari proses pembakaran yang terjadi di seluruh permukaan bumi, seperti pembakaran sampah, gas buang hasil penggunaan mesin pabrik, asap kendaraan yang biasa kita hirup, dan lain-lain. Proses penyerapan CO2 ini merupakan proses yang melibatkan suatu reaksi. Pada dasarnya, rangkaian reaksi fotosintesis dapat dibagi menjadi dua bagian utama: reaksi terang (karena memerlukan cahaya) dan reaksi gelap (tidak memerlukan cahaya tetapi memerlukan karbon dioksida).


4.3.1 Reaksi terang
Reaksi terang adalah proses untuk menghasilkan ATP dan reduksi NADPH2. Reaksi ini memerlukan molekul air. Proses diawali dengan penangkapan foton oleh pigmen sebagai antena.
Pigmen klorofil menyerap lebih banyak cahaya terlihat pada warna biru (400-450 nanometer) dan merah (650-700 nanometer) dibandingkan hijau (500-600 nanometer). Cahaya hijau ini akan dipantulkan dan ditangkap oleh mata kita sehingga menimbulkan sensasi bahwa daun berwarna hijau. Fotosintesis akan menghasilkan lebih banyak energi pada gelombang cahaya dengan panjang tertentu. Hal ini karena panjang gelombang yang pendek menyimpan lebih banyak energi.
Di dalam daun, cahaya akan diserap oleh molekul klorofil untuk dikumpulkan pada pusat-pusat reaksi. Tumbuhan memiliki dua jenis pigmen yang berfungsi aktif sebagai pusat reaksi atau fotosistem yaitu fotosistem II dan fotosistem I. Fotosistem II terdiri dari molekul klorofil yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 680 nanometer, sedangkan fotosistem I 700 nanometer. Kedua fotosistem ini akan bekerja secara simultan dalam fotosintesis, seperti dua baterai dalam senter yang bekerja saling memperkuat.
Fotosintesis dimulai ketika cahaya mengionisasi molekul klorofil pada fotosistem II, membuatnya melepaskan elektron yang akan ditransfer sepanjang rantai transpor elektron. Energi dari elektron ini digunakan untuk fotofosforilasi yang menghasilkan ATP, satuan pertukaran energi dalam sel. Reaksi ini menyebabkan fotosistem II mengalami defisit atau kekurangan elektron yang harus segera diganti. Pada tumbuhan dan alga, kekurangan elektron ini dipenuhi oleh elektron dari hasil ionisasi air yang terjadi bersamaan dengan ionisasi klorofil. Hasil ionisasi air ini adalah elektron dan oksigen.
Oksigen dari proses fotosintesis hanya dihasilkan dari air, bukan dari karbon dioksida. Pendapat ini pertama kali diungkapkan oleh C.B. van Neil yang mempelajari bakteri fotosintetik pada tahun 1930-an. Bakteri fotosintetik, selain sianobakteri, menggunakan tidak menghasilkan oksigen karena menggunakan ionisasi sulfida atau hidrogen.
Pada saat yang sama dengan ionisasi fotosistem II, cahaya juga mengionisasi fotosistem I, melepaskan elektron yang ditransfer sepanjang rantai transpor elektron yang akhirnya mereduksi NADP menjadi NADPH. Tahap pertama dari sistem fotosintesis adalah reaksi terang, yang sangat bergantung kepada ketersediaan sinar matahari. Reaksi terang merupakan penggerak bagi reaksi pengikatan CO2 dari udara. Reaksi ini melibatkan beberapa kompleks protein dari membran tilakoid yang terdiri dari sistem cahaya (fotosistem I dan II), sistem pembawa elektron, dan komplek protein pembentuk ATP (enzim ATP sintase). Reaksi terang mengubah energi cahaya menjadi energi kimia, juga menghasilkan oksigen dan mengubah ADP dan NADP+ menjadi energi pembawa ATP dan NADPH.
Reaksi terang terjadi di tilakoid, yaitu struktur cakram yang terbentuk dari pelipatan membran dalam kloroplas. Membran tilakoid menangkap energi cahaya dan mengubahnya menjadi energi kimia. Jika ada bertumpuk-tumpuk tilakoid, maka disebut grana.
Secara ringkas, reaksi terang pada fotosintesis ini terbagi menjadi dua, yaitu fosforilasi siklik dan fosforilasi nonsiklik. Fosforilasi adalah reaksi penambahan gugus fosfat kepada senyawa organik untuk membentuk senyawa fosfat organik. Pada reaksi terang, karena dibantu oleh cahaya, fosforilasi ini disebut juga fotofosforilasi.
1.     Fotofosforilasi Siklik
Reaksi fotofosforilasi siklik adalah reaksi yang hanya melibatkan satu fotosistem, yaitu fotosistem I. Dalam fotofosforilasi siklik, pergerakan elektron dimulai dari fotosistem I dan berakhir di fotosistem I. Pertama, energi cahaya, yang dihasilkan oleh matahari, membuat elektron-elektron di P700 tereksitasi (menjadi aktif karena rangsangan dari luar), dan keluar menuju akseptor elektron primer kemudian menuju rantai transpor elektron. Karena P700 mentransfer elektronnya ke akseptor elektron, P700 mengalami defisiensi elektron dan tidak dapat melaksanakan fungsinya. Selama perpindahan elektron dari akseptor satu ke akseptor lain, selalu terjadi transformasi hidrogen bersama-sama elektron. Rantai transpor ini menghasilkan gaya penggerak proton, yang memompa ion H+ melewati membran, yang kemudian menghasilkan gradien konsentrasi yang dapat digunakan untuk menggerakkan sintase ATP selama kemiosmosis, yang kemudian menghasilkan ATP. Dari rantai transpor, elektron kembali ke fotosistem I. Dengan kembalinya elektron ke fotosistem I, maka fotosistem I dapat kembali melaksanakan fungsinya. Fotofosforilasi siklik terjadi pada beberapa bakteri, dan juga terjadi pada semua organisme fotoautotrof.
2.     Fotofosforilasi Nonsiklik
Reaksi fotofosforilasi nonsiklik adalah reaksi dua tahap yang melibatkan dua fotosistem klorofil yang berbeda, yaitu fotosistem I dan II. Dalam fotofosforilasi nonsiklik, pergerakan elektron dimulai di fotosistem II, tetapi elektron tidak kembali lagi ke fotosistem II. Mula-mula, molekul air diurai menjadi 2H+ + 1/2O2 + 2e-. Dua elektron dari molekul air tersimpan di fotosistem II, sementara ion H+ akan digunakan pada reaksi yang lain dan O2 akan dilepaskan ke udara bebas. Karena tersinari oleh cahaya matahari, dua elektron yang ada di P680 menjadi tereksitasi dan keluar menuju akseptor elektron primer. Setelah terjadi transfer elektron, P680 menjadi defisiensi elektron, tetapi dapat cepat dipulihkan berkat elektron dari hasil penguraian air tadi. Setelah itu mereka bergerak lagi ke rantai transpor elektron, yang membawa mereka melewati pheophytin, plastoquinon, komplek sitokrom b6f, plastosianin, dan akhirnya sampai di fotosistem I, tepatnya di P700. Perjalanan elektron diatas disebut juga dengan “skema Z”. Sepanjang perjalanan di rantai transpor, dua elektron tersebut mengeluarkan energi untuk reaksi sintesis kemiosmotik ATP, yang kemudian menghasilkan ATP.
Sesampainya di fotosistem I, dua elektron tersebut mendapat pasokan tenaga yang cukup besar dari cahaya matahari. Kemudian elektron itu bergerak ke molekul akseptor, feredoksin, dan akhirnya sampai di ujung rantai transpor, dimana dua elektron tersebut telah ditunggu oleh NADP+ dan H+, yang berasal dari penguraian air. Dengan bantuan suatu enzim bernama Feredoksin-NADP reduktase, disingkat FNR, NADP+, H+, dan elektron tersebut menjalani suatu reaksi:
NADP+ + H+ + 2e- —> NADPH
NADPH, sebagai hasil reaksi diatas, akan digunakan dalam reaksi Calvin-Benson, atau reaksi gelap.

4.3.2 Reaksi gelap

Reaksi gelap merupakan reaksi lanjutan dari reaksi terang dalam fotosintesishttps://www.facebook.com/balitbangpu. Reaksi ini tidak membutuhkan cahaya. Reaksi gelap terjadi pada bagian kloroplas yang disebut stroma. Bahan reaksi gelap adalah ATP dan NADPH, yang dihasilkan dari reaksi terang, dan CO2, yang berasal dari udara bebas. Dari reaksi gelap ini, dihasilkan glukosa (C6H12O6), yang sangat diperlukan bagi reaksi katabolisme. Reaksi ini ditemukan oleh Melvin Calvin dan Andrew Benson, karena itu reaksi gelap disebut juga reaksi Calvin-Benson.
Salah satu substansi penting dalam proses ini ialah senyawa gula beratom karbon lima yang terfosforilasi yaitu ribulosa fosfat. Jika diberikan gugus fosfat kedua dari ATP maka dihasilkan ribulosa difosfat (RDP). Ribulosa difosfat ini yang nantinya akan mengikat CO2 dalam reaksi gelap. Secara umum, reaksi gelap dapat dibagi menjadi tiga tahapan (fase), yaitu fiksasi, reduksi, dan regenerasi.
Pada fase fiksasi, 6 molekul ribulosa difosfat mengikat 6 molekul CO2 dari udara dan membentuk 6 molekul beratom C6 yang tidak stabil yang kemudian pecah menjadi 12 molekul beratom C3 yang dikenal dengan 3-asam fosfogliserat (APG/PGA). Selanjutnya, 3-asam fosfogliserat ini mendapat tambahan 12 gugus fosfat, dan membentuk 1,3-bifosfogliserat. Kemudian, 1,3-bifosfogliserat masuk ke dalam fase reduksi, dimana senyawa ini direduksi oleh H+ dari NADPH, yang kemudian berubah menjadi NADP+, dan terbentuklah 12 molekul fosfogliseraldehid (PGAL) yang beratom 3C. Selanjutnya, 2 molekul fosfogliseraldehid melepaskan diri dan menyatukan diri menjadi 1 molekul glukosa yang beratom 6C (C6H12O6). 10 molekul fosfogliseraldehid yang tersisa kemudian masuk ke dalam fase regenerasi, yaitu pembentukan kembali ribulosa difosfat. Pada fase ini, 10 molekul fosfogliseraldehid berubah menjadi 6 molekul ribulosa fosfat. Jika mendapat tambahan gugus fosfat, maka ribulosa fosfat akan berubah menjadi ribulosa difosfat (RDP), yang kemudian kembali mengikat CO2 dan menjalani siklus reaksi gelap.
Reaksi terang dan reaksi gelap di atas berhubungan dengan produksi O2 di udara. Gas CO2 diperlukan untuk memproduksi glukosa dan O2. Sehingga, semakin banyak suatu tempat ditumbuhi tanaman, maka semakin tinggi produksi O2 pada lingkungan tersebut. Melalui konsep living wall, diharapkan dapat menampung tumbuhan dalam jumlah banyak dan mampu memproduksi O2 dalam jumlah tinggi pula, sehingga dengan semakin rendah kadar CO2 dalam udara dan semakin tinggi produksi O2 oleh tumbuhan, dapat mewujudkan Denpasar yang hijau dan sehat. Hijau, karena asri dan rindang, serta sehat, karena dengan rendahnya konsentrasi CO2 dan tingginya konsentrasi O2 dalam udara, dapat mengurangi jumlah risiko masyarakat terjangkit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Konsep living wall dapat membantu pemerintah mengurangi jumlah penderita ISPA dan membantu menghijaukan lingkungan kota Denpasar, di tengah masalah sempitnya lahan rumah masyarakat perkotaan, yang kurang memungkinkan untuk membuat sebuah taman horizontal. Karena konsep living wall menggunakan media berupa tanah vertikal, sehingga tidak memerlukan lahan horizontal yang luas untuk menanam tanaman-tanaman tertentu.

Tidak ada komentar: